Ini bukan sekadar tidak prosedural. Agenda tersebut justru menabrak keputusan tertinggi organisasi, yakni Muktamar
Jakarta (KABARIN) - Dinamika internal Nahdlatul Ulama kembali mencuri perhatian publik. Sekretaris Jenderal PBNU, Amin Said Husni, menegaskan bahwa rapat pleno yang digelar oleh pihak yang mengklaim sebagai Pengurus Besar Syuriah pada 9–10 Desember 2025 tidak sah secara organisasi. Ia menyebut agenda tersebut tidak hanya menyalahi prosedur, tetapi juga bertentangan dengan keputusan Muktamar ke-34, forum tertinggi dalam struktur NU.
Menurut Amin, ada tiga alasan pokok yang membuat rapat tersebut dianggap tidak memiliki dasar konstitusional.
1. Melampaui kewenangan Syuriyah
Rapat yang menjadi landasan kegiatan pleno itu disebut berasal dari keputusan Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025.
Namun, Amin menegaskan bahwa sesuai Pasal 93 ART NU, forum tersebut tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang memengaruhi struktur Tanfidziyah—termasuk posisi Ketua Umum PBNU.
“Keputusan itu hanya mengikat internal Syuriyah Harian saja. Tidak ada efek hukum terhadap jabatan ketua umum,” ujarnya.
2. Tidak mengikuti tata kepemimpinan rapat pleno
Amin juga menyebut rapat tersebut cacat sejak awal karena tidak mengikuti tata kepemimpinan rapat sebagaimana tertuang dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c dan Pasal 64 ART NU.
Rapat pleno PBNU wajib dipimpin oleh Rais Aam bersama Ketua Umum.
“Kalau ketua umum tidak dilibatkan, otomatis rapat itu batal demi hukum,” jelasnya.
3. Tidak ada dasar terapkan ‘Pejabat Ketua Umum’
Agenda penetapan “Pejabat Ketua Umum” menjadi titik krusial. Amin menegaskan bahwa hal tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Dalam Perkum Nomor 13 Pasal 4 ayat (1), jabatan Pejabat Ketua Umum hanya dimungkinkan jika terjadi pergantian antar waktu akibat fungsionaris berhalangan tetap.
“Faktanya, Gus Yahya tidak berhalangan tetap. Beliau adalah mandataris Muktamar ke-34, sehingga tidak ada kekosongan jabatan,” katanya.
Marwah organisasi
Amin menilai langkah penetapan pejabat ketua umum tanpa dasar konstitusi justru mengancam marwah organisasi yang selama ini dijaga.
“NU punya aturan dan kehormatan. Tidak boleh ada tindakan sepihak yang mencoba menggeser wewenang ketua umum,” ujarnya menegaskan.
Dengan klarifikasi ini, PBNU berharap seluruh pihak kembali merujuk pada aturan yang berlaku serta menghormati keputusan Muktamar sebagai pedoman tertinggi dalam berorganisasi.