Pariwisata RI bergerak ke arah baru lewat kampanye "Go Beyond Ordinary"

waktu baca 5 menit

Indonesia tidak ingin hanya memamerkan pesona alamnya, melainkan juga menunjukkan komitmen untuk menjaganya

Jakarta (KABARIN) - Arah baru pariwisata Indonesia mulai bergerak dari sekadar promosi destinasi menjadi gerakan transformasi nilai.

Kementerian Pariwisata (Kemenpar) telah menegaskan bahwa masa depan sektor ini tidak lagi ditentukan oleh banyaknya kunjungan, tetapi oleh kualitas pengalaman dan tanggung jawab terhadap alam, budaya, serta kesejahteraan masyarakat.

Visi ini menggeser paradigma lama dari “menjual tempat indah” menjadi “membangun ekosistem wisata yang bernilai tambah dan berkelanjutan”.

Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar Ni Made Ayu Marthini, saat sesi live talkshow bersama Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, berpendapat bahwa pariwisata tidak boleh berhenti pada daya tarik visual, melainkan harus menembus lapisan yang lebih dalam mencakup kesadaran, empati, dan keberlanjutan.

Kebersihan menjadi titik tolak perubahan itu. Sederhana, tetapi esensial. Ketika Ni Made menyebut “kebersihan adalah keharusan”, ia tidak sedang bicara soal estetika semata, melainkan tentang standar peradaban industri pariwisata.

Wisatawan yang datang ke destinasi kini tidak hanya menilai keindahan pemandangan, tetapi juga menimbang seberapa bersih, tertib, dan ramah lingkungan tempat yang mereka kunjungi.

Dalam konteks global, destinasi dengan tingkat kebersihan tinggi dianggap memiliki nilai sosial yang lebih tinggi pula, menandakan bahwa masyarakatnya beradab dan industrinya profesional. Maka, kebersihan bukan lagi bagian kecil dari pelayanan, melainkan simbol kemajuan pariwisata itu sendiri.

Dari kebersihan, visi itu beranjak menuju keberlanjutan. Konsep ini tidak hanya berarti menjaga lingkungan, tetapi juga melibatkan keseimbangan tiga pilar termasuk alam, budaya, dan kesejahteraan masyarakat.

Ketika pariwisata memberi manfaat ekonomi tanpa merusak sumber daya dan tanpa mengikis nilai budaya, di situlah makna sejati dari “pariwisata naik kelas” terwujud.

Artinya, setiap pengembangan destinasi harus memperhatikan daya dukung lingkungan, memuliakan tradisi, dan memajukan kesejahteraan komunitas lokal. Inilah fondasi baru yang hendak dibangun pemerintah termasuk keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab sosial.

Lima fokus utama sektor pariwisata dalam Program Unggulan 2025 menggambarkan arah strategis menuju transformasi tersebut.

Digitalisasi melalui Tourism 5.0 menjadi gerbang pertama, karena teknologi tidak hanya memudahkan promosi, tetapi juga memungkinkan personalisasi pengalaman wisata yang lebih cerdas.

Dengan kecerdasan buatan, wisatawan dapat diarahkan pada destinasi berkelanjutan, hotel ramah lingkungan, atau aktivitas wisata yang mendukung konservasi. Teknologi tidak lagi sekadar alat, melainkan mekanisme untuk membentuk perilaku wisatawan yang lebih sadar nilai.


Identitas bangsa

Fokus berikutnya, penguatan gastronomi, bahari, dan wellness tourism, menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu mencari keunikan dari luar. Potensi itu sudah melekat dalam identitas bangsa.

Gastronomi Nusantara, dengan ribuan resep lokal, bukan sekadar produk kuliner, melainkan warisan budaya yang bisa menjadi daya tarik global.

Begitu juga dengan wisata bahari dan wellness, yang jika dikelola dengan prinsip berkelanjutan, dapat menjadi sektor unggulan yang menyatukan antara rekreasi dan konservasi.

Ketiga subsektor ini tidak hanya menjual pengalaman, tetapi juga narasi tentang keindahan yang bertanggung jawab dan kesejahteraan yang berbasis nilai lokal.

Sementara itu, penyelenggaraan event bertaraf global menjadi jalan untuk memperkuat diplomasi budaya dan ekonomi kreatif Indonesia di kancah dunia.

Kemenpar tampaknya memahami bahwa promosi pariwisata masa kini tidak cukup hanya dengan iklan, tetapi melalui karya dan pengalaman lintas bangsa.

Ketika Indonesia menampilkan event dengan kekayaan intelektual lokal seperti festival wellness, kuliner, atau kebudayaan maka yang dipromosikan bukan hanya destinasi, melainkan juga identitas nasional yang kreatif, modern, dan bernilai global.

Pilar yang juga signifikan adalah pengembangan desa wisata berbasis komunitas. Itu merupakan bentuk konkret demokratisasi ekonomi pariwisata. Dalam paradigma lama, pariwisata seringkali bersifat top-down termasuk investor datang, masyarakat menjadi penonton.

Kemenpar kini mengubahnya menjadi bottom-up, di mana masyarakat menjadi pelaku utama, bukan sekadar penerima dampak.

Ketika masyarakat dilibatkan sejak perencanaan hingga pengelolaan, mereka akan menjadi penjaga alam, pelestari budaya, dan penggerak ekonomi yang mandiri.

Desa wisata bukan hanya destinasi baru, tetapi simbol transformasi sosial bahwa kemajuan pariwisata bisa tumbuh dari bawah, tanpa harus kehilangan akar budaya.

Wisata bersih

Hal yang juga tidak terelakkan yakni penguatan kebersihan dan higienitas destinasi menjadi gerakan nasional melalui Wisata Bersih. Ini bukan sekadar kampanye, tetapi upaya membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga kebersihan adalah bentuk cinta terhadap tanah air.

Sebagaimana Ni Made tegaskan, kebersihan adalah syarat utama destinasi naik kelas. Ini relevan bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi seluruh pemangku kepentingan mencakup pelaku industri, masyarakat, dan wisatawan itu sendiri.

Kampanye Go Beyond Ordinary yang digulirkan pun menandai babak baru komunikasi pariwisata Indonesia. Pesan utamanya sederhana namun kuat yakni jadilah wisatawan yang sadar, bukan sekadar penikmat. Berwisata bukan lagi diukur dari seberapa jauh langkah kaki, tetapi seberapa besar dampak positif yang ditinggalkan.

Kesadaran ini mengubah orientasi pariwisata dari konsumtif menjadi reflektif. Tetapi menantang masyarakat untuk memandang pariwisata bukan sebagai hiburan semata, melainkan sebagai praktik tanggung jawab sosial dan kultural.

Ketika kampanye ini dikaitkan dengan semangat Keep the Wonder, maka jelas bahwa Indonesia tidak ingin hanya memamerkan pesona alamnya, melainkan juga menunjukkan komitmen untuk menjaganya. Keajaiban tidak akan bertahan jika tidak dirawat.

Di sinilah letak tantangan terbesar tentang bagaimana memastikan bahwa setiap kebijakan, promosi, dan inovasi benar-benar berpihak pada keberlanjutan. Karena pariwisata yang tumbuh tanpa keseimbangan justru akan menghancurkan dirinya sendiri.

Inovasi berbasis kecerdasan buatan yang disiapkan Kemenpar menjadi langkah visioner dalam menjawab tantangan itu. Teknologi dapat menjadi alat edukasi bagi wisatawan agar memilih dengan bijak.

Dengan data dan algoritma, pilihan perjalanan bisa diarahkan pada destinasi yang beretika, ramah lingkungan, dan berkontribusi sosial. Dalam jangka panjang, pendekatan ini akan menciptakan ekosistem wisata yang tidak hanya kompetitif, tetapi juga bertanggung jawab.

Arah baru pariwisata Indonesia kini menempatkan nilai di atas harga. Ni Made menutup perbincangannya dengan refleksi yang mengandung filosofi mendalam bahwa harga menjadi nomor dua ketika wisatawan sadar akan nilai dari pilihannya.

Kalimat ini seolah menjadi pesan moral bagi industri dan masyarakat bahwa keberlanjutan bukan pilihan tambahan, melainkan inti dari masa depan pariwisata. Indonesia tidak sedang berkompetisi untuk menjadi yang termurah atau terbanyak, tetapi yang paling bermakna dan paling bertanggung jawab.

Ketika kesadaran itu tumbuh, pariwisata Indonesia benar-benar telah naik kelas, bukan karena iklannya, tetapi karena nilai yang dihidupinya.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka