News

Kasus kekerasan seksual anak meningkat, UI soroti minimnya dukungan untuk korban

Seringkali para orang tua menyelesaikan problem kekerasan seksual ini melalui mekanisme kekeluargaan

Depok (KABARIN) - Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun, di balik angka yang terus bertambah, penelitian terbaru dari Universitas Indonesia (UI) menemukan bahwa penanganan bagi para korban justru masih belum berpihak pada mereka yang paling terdampak: anak-anak itu sendiri.

Ketua Tim Riset Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak UI, Emir Chairullah, Ph.D, menegaskan bahwa korban sering kali tidak hanya mengalami kekerasan, tetapi juga harus menanggung stigma sosial tanpa adanya dukungan pemulihan mental yang memadai.

“Sudah jadi korban, diberi label pula, dan tidak ada upaya rehabilitasi. Ini mengenaskan,” ujar Emir usai melakukan riset lapangan di Kabupaten Ende, NTT.

Riset UI yang melibatkan Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI—serta Yayasan Kakak Aman Indonesia—menemukan bahwa penanganan kasus selama ini masih berkutat pada menghukum pelaku, bukan mengutamakan masa depan dan pemulihan anak.

Padahal, kata Emir, trauma korban tanpa penanganan dapat memengaruhi kehidupan mereka hingga dewasa.

Anggota tim peneliti sekaligus dosen Kesejahteraan Sosial UI, Annisah, menyebutkan banyak daerah—terutama wilayah 3T—belum memiliki rumah aman atau shelter khusus untuk korban kekerasan seksual.

Rumah aman ini penting untuk memberikan dukungan dari psikolog, konselor, dan pekerja sosial agar korban benar-benar bisa pulih.

“Orang tua sering bingung harus ke mana. Jika ada rumah aman, mereka tahu bahwa anak akan ditangani profesional,” jelas Annisah.

Ia juga mengungkapkan bahwa banyak kasus diselesaikan lewat mekanisme kekeluargaan karena pelaku biasanya orang dekat seperti paman, kakek, ayah, kepala sekolah, guru, hingga tokoh masyarakat.

Dalam banyak kasus, keluarga korban memilih menyelesaikan masalah dengan “membayar denda” untuk menutup kasus secara kekeluargaan.

Namun langkah tersebut mengabaikan trauma mendalam yang dapat memengaruhi masa depan psikologis anak sepanjang hidup.

Ketua TP PKK Ende, Cici Badeoda, menegaskan bahwa pemulihan korban harus berada di posisi terdepan.

“Kalau tidak diatasi, dampaknya akan ke mana-mana. Baik fisik, mental, maupun keluarga korban,” tegasnya.

Ia mendorong agar UPT PPA (Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak) segera dibentuk di wilayahnya, mengingat kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan ancaman serius bagi masa depan Generasi Emas 2045.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Suryanto
Copyright © KABARIN 2025
TAG: