Fenomena turunnya angka pernikahan di Indonesia: Antara tren, trauma, dan pilihan

waktu baca 2 menit

Ada fenomena penurunan angka pernikahan di Indonesia. Pada 2018 pernikahan mencapai 2,01 juta pasangan, menjadi hanya 1,5 juta pada 2023. Kondisi ini perlu disikapi dengan bijaksana

Yogyakarta (KABARIN) - Fenomena menarik tengah terjadi di Indonesia, di mana angka pernikahan terus menurun drastis, meski jumlah penduduk usia produktif yang siap menikah meningkat.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah pasangan menikah di Indonesia mengalami penurunan signifikan.

“Pada 2018 jumlah pernikahan mencapai 2,01 juta pasangan, namun turun menjadi hanya 1,5 juta pada 2023. Ini fenomena sosial yang perlu disikapi dengan bijaksana,” ujar Alimatul dalam acara Ruang Asa di Yogyakarta, Jumat (4/10).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia produktif 20–34 tahun meningkat dari 62 persen, namun banyak yang memilih menunda menikah.

Rata-rata usia menikah kini berada di atas 30 tahun — tanda bahwa generasi muda semakin selektif dalam mengambil keputusan besar seperti pernikahan.

Fenomena ini beriringan dengan dua kecenderungan ekstrem, yakni perempuan mapan yang memilih tidak menikah atau hidup tanpa anak (child-free), serta masih tingginya angka perkawinan anak di beberapa daerah.

Sebagai seorang feminis muslim, Alimatul memandang fenomena child-free marriage secara seimbang.

“Dalam agama, menikah itu anjuran, bukan kewajiban. Bahkan Al-Quran sudah mengantisipasi masa di mana sebagian orang enggan menikah. Memiliki anak pun bukan kewajiban,” jelasnya.

Ia menyebut alasan pasangan memilih tidak memiliki anak beragam, mulai dari kepedulian terhadap lingkungan, hingga trauma masa kecil.

Meski sedikit berlebihan, ada yang menghitung dampak sampah yang dihasilkan saat membesarkan anak, ada pula yang mengalami gangguan psikologis ketika mendengar tangisan bayi.

Meski begitu, Alimatul mengingatkan agar pilihan ini tidak menjadi gerakan sosial.

“Silakan menjadikannya nilai pribadi, tapi jangan dijadikan gerakan massal. Kalau semua orang memilih tidak menikah dan tidak punya anak, siapa yang akan meneruskan dakwah dan nilai kehidupan kita?” katanya.

Menanggapi anggapan bahwa emansipasi perempuan telah melenceng dari kodratnya, Alimatul menegaskan pentingnya pemahaman kesetaraan gender yang adil dan proporsional.

“Kesetaraan tidak berarti perempuan dan laki-laki harus sama persis. Kodrat perempuan memang berbeda, terutama dalam aspek reproduksi yang kompleks,” ujarnya.

Namun, ia menekankan bahwa tanggung jawab mendidik anak bukan hanya tugas ibu. Pandemi COVID-19 membuktikan beban pengasuhan perempuan meningkat 3,5 kali, padahal dalam ajaran agama, mendidik anak adalah kewajiban bersama ayah dan ibu.

Sebagai penulis buku “Feminis Muslim di Indonesia”, Alimatul menjelaskan bahwa feminisme bukan sekadar gerakan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan agar kehidupan perempuan menjadi lebih baik.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka