Insiden ledakan di SMA 72 jadi peringatan pentingnya sekolah bebas kekerasan

waktu baca 3 menit

Kolaborasi yang baik antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat akan menjadi fondasi kuat untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh dan siap mengisi Indonesia Emas 2045.

Bondowoso (KABARIN) - Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Utara yang melukai puluhan orang bukan sekadar insiden mengejutkan, tapi juga pengingat keras tentang pentingnya menjaga dunia pendidikan dari paparan kekerasan dan ideologi berbahaya. Direktur Pencegahan BNPT Irfan Idris sebelumnya sudah menegaskan perlunya sekolah dibentengi dari pengaruh intoleransi dan tindak kekerasan.

Ledakan itu terjadi sehari setelah peringatan Irfan disampaikan di acara Sekolah Damai di Bali. Meski penyelidikan polisi masih berlangsung, dugaan awal mengarah pada seorang siswa yang disebut sering menjadi korban perundungan di sekolah.

Remaja seperti pelaku dugaan tersebut memang sedang berada di masa rentan. Dalam tahap mencari jati diri, mereka mudah merasa tertekan dan kehilangan arah ketika menghadapi perlakuan buruk dari teman sebaya. Situasi seperti ini bisa memicu rasa putus asa yang berujung pada tindakan berisiko.

Kalau benar pelaku ledakan di SMA 72 merupakan korban perundungan, maka peristiwa ini menjadi sinyal penting agar sekolah lebih peduli terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial siswanya. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti juga mengingatkan guru perlu memiliki kemampuan konseling agar bisa mencegah siswa terpapar ideologi ekstrem, termasuk dari dunia digital.

Bisa jadi tindakan pelaku bukan karena ideologi radikal, melainkan dorongan emosi dan rasa sakit akibat perlakuan buruk yang diterima. Namun, inspirasi untuk meledakkan sesuatu tetap patut diwaspadai karena bisa jadi datang dari konten digital berbau kekerasan. Sekalipun motifnya pribadi, dampaknya sama berbahayanya dengan aksi teror, apalagi jika melibatkan anak di bawah umur.

Mu’ti menekankan pentingnya sekolah menyediakan ruang aman bagi siswa untuk mengekspresikan perasaan dan gagasan mereka. “Siswa harus punya ruang untuk menyampaikan pandangan agar bisa mengeksplor ide secara kreatif, bukan lewat tindakan berbahaya,” ujar Mu’ti.

Ruang aman ini membantu remaja terhindar dari tekanan sosial di sekolah maupun di rumah. Sebab, ketika mereka tidak punya tempat untuk menyalurkan keresahan, bisa muncul generasi yang rapuh secara emosional, yang sering disebut sebagai generasi stroberi.

Sekolah dan orang tua punya tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan suportif bagi siswa. Guru juga perlu memperhatikan bukan hanya korban, tapi juga siswa yang berpotensi menjadi pelaku perundungan. Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya karakter positif dan empati, bukan sekadar ruang belajar akademik.

Membangun sekolah yang ramah anak butuh kerja sama semua pihak, dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga staf dan penjaga sekolah. Komunikasi yang baik antara sekolah, orang tua, dan masyarakat menjadi pondasi kuat agar lahir generasi muda yang tangguh, berempati, dan siap menyongsong Indonesia Emas 2045.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka