Jakarta (KABARIN) - Pemerintah Thailand dikabarkan mengubah kebijakan insentif kendaraan listrik (EV) mereka demi mendorong ekspor dan menghindari penumpukan stok di pasar domestik. Langkah terbaru ini diumumkan oleh Dewan Investasi Thailand, seperti diberitakan Bangkok Post, Selasa (25/11).
Dalam aturan baru tersebut, setiap kendaraan listrik yang diproduksi untuk tujuan ekspor akan dihitung sebagai 1,5 unit untuk memenuhi kewajiban produksi lokal para produsen.
"Ini untuk memberi insentif kepada produsen mobil agar meningkatkan ekspor dan mencegah kelebihan pasokan di pasar domestik," demikian pernyataan Dewan Investasi.
Kebijakan ini melanjutkan revisi yang dilakukan pada Juli lalu, yang memberi produsen EV lebih banyak fleksibilitas dalam memenuhi syarat produksi sekaligus memperbesar dorongan untuk ekspor.
Saat ini, merek-merek China mendominasi pasar EV Thailand dengan pangsa lebih dari 70 persen dari total penjualan — sebuah dominasi yang ikut mendorong pemerintah menyesuaikan aturan demi menjaga keseimbangan pasar.
Revisi itu juga terkait dengan program insentif EV3.5, yang menawarkan potongan pajak dan subsidi bagi pabrikan yang mengimpor EV untuk dijual di Thailand, dengan syarat mereka berinvestasi dalam pembangunan fasilitas perakitan di negara tersebut. Program yang berjalan dari 2024 hingga 2027 ini sudah menarik investasi lebih dari 4 miliar dolar AS, termasuk dari raksasa otomotif China seperti BYD dan Great Wall Motors.
Menurut Federasi Industri Thailand, registrasi kendaraan listrik berbasis baterai dari Januari hingga Juli 2025 melonjak 35 persen year-on-year menjadi 81.179 unit. EV baterai kini menyumbang 18 persen dari total penjualan mobil domestik.
Sementara itu, mobil pikap bermesin diesel dan bensin menyumbang 24 persen dari penjualan, diikuti mobil penumpang bermesin pembakaran internal sebesar 23 persen, dan kendaraan hibrida 20 persen.