“MA sependapat dengan permohonan pemohon mengenai ketentuan Pasal 81A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA,”
Jakarta (KABARIN) - Mahkamah Agung (MA) setuju dengan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA agar lembaga peradilan mengajukan anggaran secara mandiri, sementara menteri keuangan hanya bertindak sebagai fasilitator administrasi.
Pernyataan itu disampaikan Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA Adji Prakoso, selaku perwakilan MA yang menjadi pihak terkait perkara nomor 189/PUU-XXIII/2025, dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
“MA sependapat dengan permohonan pemohon mengenai ketentuan Pasal 81A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA,” ucap Adji.
Ia mengatakan pengalokasian dan penganggaran keuangan MA saat ini masih menunjukkan adanya campur tangan kekuasaan eksekutif. Hal itu dipandang dapat menghambat program dan rencana kerja MA serta badan peradilan di bawahnya.
“Sehingga mempengaruhi keterlambatan pemberian akses keadilan kepada masyarakat, khususnya para pencari keadilan dan pengguna layanan pengadilan,” kata dia.
Dijelaskannya, praktik penganggaran di MA diawali dengan seluruh satuan kerja menyusun rencana kerja dan anggaran berdasarkan kebutuhan aktual, kemudian diajukan secara berjenjang ke pengadilan tingkat banding,
Kemudian, MA menghimpun dan mengintegrasikan seluruh usulan menjadi satu dokumen anggaran nasional yang selanjutnya diajukan kepada eksekutif, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Usulan anggaran MA lalu ditelaah Kemenkeu dan Bappenas. Menurut Adji, penelaahan, khususnya oleh Bappenas, bertujuan memastikan program yang diusulkan selaras dengan arah kebijakan nasional, termasuk prioritas pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah.
“Setelah proses review dan koreksi terhadap usulan RKA (rencana kerja dan anggaran) dilakukan, pemerintah melakukan koordinasi internal menetapkan pagu indikatif, yaitu batas awal anggaran yang dialokasikan bagi masing-masing kementerian atau lembaga, termasuk MA,” tuturnya.
Penyusunan anggaran MA berlanjut melalui rapat dengar pendapat (RDP) tahap pertama dengan Komisi III DPR RI. Setelah dicapai kesepakatan antara MA dan DPR, ditetapkan pagu anggaran sebagai besaran anggaran final.
Namun, proses itu belum rampung. Selanjutnya, RDP tahap kedua dilaksanakan untuk membahas rincian pagu yang telah dialokasikan ke dalam struktur program, kegiatan, dan subkegiatan di lingkungan MA.
“Kemudian dalam proses penganggaran adalah penerbitan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk MA … Dengan terbitnya DIPA, proses penganggaran MA memasuki tahap implementasi dan pelaporan,” imbuhnya.
Menurut Adji, dengan mekanisme penganggaran yang wajib melalui telaah Kemenkeu dan Bappenas selama ini, porsi anggaran yang diterima MA melalui DIPA selalu jauh dari yang diusulkan.
Dia mencontohkan bahwa pada 2023, MA mengusulkan anggaran sekitar Rp17,6 triliun, tetapi DIPA yang diberikan Rp12,2 triliun. Kemudian, pada 2024, MA mengusulkan Rp20,7 triliun, tetapi DIPA yang diberikan hanya Rp11,8 triliun.
“Hal tersebut berulang pada tahun anggaran 2025, yakni MA mengusulkan anggaran sebesar kurang lebih Rp20,3 triliun. Namun, DIPA yang diberikan sejumlah kurang lebih Rp12,6 triliun,” sambung Adji.
MA menyatakan mekanisme penganggaran yang demikian memperlihatkan ketiadaan kemandirian pengelolaan lembaga peradilan untuk menjalankan tugas dan fungsi yudisial. Padahal, hal itu telah diamanatkan konstitusi dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Adji mengatakan kemandirian anggaran lembaga peradilan telah menjadi diskursus dan perhatian serius pimpinan MA. Sebab, keterbatasan dalam penyusunan anggaran disebut menghambat upaya MA mewujudkan visi badan peradilan yang agung.
“Pembaruan peradilan memerlukan dukungan kemandirian anggaran agar dapat melaksanakan secara optimal cetak biru pembaruan peradilan dan menjawab tuntutan masyarakat terhadap kecepatan dan transparansi layanan. Namun, keterbatasan dalam menyusun dan mengelola anggaran membuat MA tidak dapat melakukan penyesuaian prioritas secara real time,” ucapnya.
Dalam kesimpulannya, MA setuju dengan petitum pemohon agar Pasal 81A ayat (1) UU MA dimaknai menjadi “Anggaran diajukan oleh MA kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN dan hasil pembahasan tersebut disampaikan pada menteri keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan Undang-Undang tentang APBN.”
Adapun pasal itu sejatinya berbunyi, “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.”
Perkara ini dimohonkan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa dan Nurhidayat serta Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum Irfan Kamil.
Mereka menguji Pasal 81A ayat (1) UU MA, Pasal 9 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, serta Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Menurut para pemohon, tidak adanya kemandirian anggaran terhadap lembaga yudikatif seperti MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK akan berdampak pada berbagai hal, termasuk independensi hakim dan mutu putusan.