Peneliti Universitas Andalas ciptakan alat sensor untuk kematangan sawit

waktu baca 8 menit

Inovasi anak bangsa ini diharapkan menjadi sebuah harapan baru agar hilirisasi kelapa sawit di Indonesia lebih berkembang pesat di tengah ketidakpastian global

Padang (KABARIN) - Tanaman bernama latin Elaeis oleifera atau lebih dikenal dengan kelapa sawit adalah salah satu komoditas unggulan yang banyak ditanam di Kalimantan dan Sumatera. Dalam hal ekspor, tumbuhan asli Amerika ini tergolong masif digarap petani maupun perusahaan.

Umumnya, buah kelapa sawit diolah menjadi produk kebutuhan rumah tangga misalnya minyak goreng, margarin serta mentega putih. Sementara, untuk kebutuhan industri diolah menjadi bahan bakar biodiesel atau pelumas.

Sebagai komoditas superior di Indonesia, tidak jarang para petani berlomba-lomba membudidayakan kelapa sawit sebagai mata pencaharian utama. Hal ini tidak terlepas dari nilai jual tandan buah segar yang terkadang melonjak tinggi hingga Rp3.000 per kilogram bahkan lebih.

Jika seorang petani memiliki sekitar dua hektare sawit dengan hasil panen rata-rata dua ton, maka ia bisa meraup pundi-pundi sebesar Rp6 juta dalam satu kali panen yang hanya berkisar 15-20 hari. Artinya, dalam kurun satu bulan atau 40 hari saja, petani kelapa sawit bisa memperoleh hingga Rp12 juta.

Namun, hasil panen kelapa sawit tidak selalu menggembirakan. Kalkulasi terkadang berbanding terbalik dengan harapan. Banyak faktor yang melatarbelakangi hasil panen berkurang ataupun berkualitas rendah, mulai dari kondisi cuaca, ketidakdisiplinan panen, hama penyakit hingga kesalahan penanganan pascapanen.

Terkadang, buah yang dipanen tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh pabrik kelapa sawit. Sebab, walau bagaimanapun perusahaan kelapa sawit memiliki ukuran yang jelas dan terukur untuk menampung sawit petani.

Ketidakcocokan hasil panen dan standar pabrik tersebut adakalanya membuat petani harus rela buah kelapa sawitnya dibeli dengan harga miring bahkan tidak masuk akal.

Belum lagi adanya permainan tengkulak atau pengepul sawit yang hingga saat ini masih menjadi momok bagi petani. Mereka menekan petani dan mematok harga yang kerap merugikan dengan dalih harga sawit sedang anjlok ataupun kualitas buah belum siap panen.

Melihat kompleksnya permasalahan tersebut, peneliti sekaligus Direktur Kerjasama dan Hilirisasi Riset, Universitas Andalas (UNAND), Sumatera Barat Dr Eng Muhammad Makky menciptakan sebuah alat yang diproyeksikan akan membawa perubahan signifikan terhadap petani dan dunia kelapa sawit di Indonesia.

Hal ini sejalan dengan salah satu dari delapan Asta Cita Presiden ialah melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi yang bertujuan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.

Dengan kata lain, poin ini menekankan agar berbagai kekayaan sumber daya alam diolah di negeri sendiri supaya memberikan dampak dan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama dari sisi perekonomian.

Muhammad Makky merupakan dosen yang masuk dalam daftar jajaran 100 top ilmuan Indonesia versi AD Scientific Index 2025. Ia berhasil membuat sebuah alat yang dapat mengukur atau mendeteksi tingkat kematangan buah kelapa sawit yang masih berada di pohonnya.

Dikembangkannya perkakas ini berangkat dari kegelisahan atas nasib yang menimpa petani sawit. Lebih-lebih mereka acapkali dirugikan oleh tengkulak maupun pabrik yang menampung hasil panen buah kelapa sawit.

"Sensor pendeteksi kematangan buah sawit ini saya ciptakan berangkat dari kegelisahan atas konflik antara petani, pengepul dan pabrik kelapa sawit," kata Muhammad Makky.

Pada 2002, kala itu Muhammad Makky masih berstatus sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam proses masa studi, Makky diajak oleh dosen pembimbing untuk bertemu dengan praktisi dan pemilik pabrik kelapa sawit di daerah Banten.

Pertemuan itu untuk membahas dan mencari jalan keluar konflik yang hampir terjadi setiap hari antara petani, pengepul, dan pabrik. Masalahnya ialah harga buah sawit yang dibeli pengepul ke petani terlalu jomplang. Sementara, buah dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi ke pihak pabrik.

Dalam penelitiannya pada 2002, Makky mendapati tengkulak kerap menekan harga sawit petani dengan dalih kualitas sawit yang tidak bagus. Sementara, petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kualitas buah kelapa sawit yang dijual sehingga sepenuhnya menyerahkan kepada pengepul.

Di sisi lain, pabrik memiliki beberapa parameter untuk menilai kualitas buah kelapa sawit yang akan dibeli mulai dari rendemen atau kualitas minyak hingga kandungan asam lemak bebas.

Permasalahan lainnya ialah terkait biaya proses permurnian minyak sebelum diekspor. Sebelum diekspor ke luar negeri, minyak sawit terlebih dahulu harus melewati proses Deterioration of Bleachability Index (DOBI) atau Indeks Kemerosotan Daya Pemucatan.

Nilai DOBI merupakan parameter dari kualitas pada minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang menunjukkan kemudahan minyak tersebut untuk diputihkan nantinya.

Apabila kualitas minyak yang didapatkan rendah, maka secara otomatis biaya pemurniannya akan tinggi. Pada praktiknya, kondisi ini selalu diarahkan kepada petani dengan cara menekan harga beli.

Dari riset yang dilakukan Makky, ditemukan diferensiasi parameter nilai di tingkat petani sampai ke eksportir. Semua biaya tersebut dibebankan kepada petani mulai dari selisih harga jual antara petani dengan pemilik purchase order (PO) hingga sawit terjual ke eksportir. Makky secara umum menemukan selisih harga yang tidak wajar yakni berkisar Rp500 hingga Rp1.000 per kilogram.

"Waktu itu di tahun 2002, harga sawit sangat sedih sekali yakni sampai Rp300 rupiah. Padahal, sawit yang dibeli dengan harga murah tadi kembali dijual pengepul dengan harga Rp1.200 hingga Rp1.300 per kilogram," kata dia.

Fotogrametri-Sensor

Setelah melakukan riset yang panjang, Makky mencoba menjawab tantangan yang selama ini dihadapi petani maupun pabrik kelapa sawit. Sebelum berhasil menciptakan sensor pengukur tingkat kematangan buah kelapa sawit, ia mengarahkan penelitiannya pada metode fotogrametri.

Fotogrametri adalah teknik menilai suatu objek menggunakan perangkat sensor kamera (sensor warna). Dari komposisi warna yang direkam, maka kualitas buah sawit yang diteliti bisa dinilai.

Riset awal yang dilakukan dosen Fakultas Teknik Pertanian UNAND tersebut terus dikembangkan. Ia mencoba menciptakan alat yang mampu mengukur kualitas buah sawit yang masih berada di pohon sebelum dipanen dengan menggunakan teknik fotogrametri. Teknik ini juga dikombinasikan dengan lensa penguat.

Pada 2004, ia berdiskusi dengan sebuah perusahaan sawit yang memproyeksikan sekitar 20 tahun ke depan (2024) tenaga terampil atau pemanen buah kelapa sawit akan sulit ditemukan. Analisa tersebut terbukti benar ketika saat ini sulit menemukan pemanen buah yang cekatan.

Pada saat itu, perusahaan menjabarkan bahwa setiap tahunnya jumlah orang yang betul-betul terampil memanen buah sawit terus menunjukkan tren penurunan. Hal ini menjadi masalah serius terutama bagi perusahaan yang memiliki ribuan hektare sawit.

Pihak perusahaan meminta bantuan Makky untuk mencarikan solusi yang mampu memberi kemudahan bagi orang-orang dalam memanen buah sawit. Lebih tepatnya perusahaan berharap diciptakan bantuan teknologi berupa alat untuk memanen.

Dalam perjalanannya, Makky kembali diajak oleh IPB yang pada saat itu melakukan kerja sama dengan PT Astra Agro Lestari Tbk untuk mengembangkan sensor yang bisa mengukur kualitas buah sawit yang masih berada di pohon.

Bak gayung bersambut, tanpa ragu Makky mengiyakan ajakan itu karena beberapa tahun lalu sudah memulai riset tentang inovasi dan buah kelapa sawit. Alat ini ditujukan agar tidak ada pemanen yang asal-asalan memanen buah sawit karena dapat merugikan perusahaan.

Kecerdasan Buatan

Makky menjelaskan salah satu hal terpenting dari alat tersebut ialah kemampuan algoritma perangkat lunak dalam membaca hasil sensor yang kemudian mengolahnya menjadi data. Dalam hal ini termasuk memilah informasi yang mengganggu seperti perubahan intensitas cahaya hingga getaran tangan saat pengambilan data.

"Alat ini juga dirancang agar bisa meminimalisir back lighting saat pengambilan data kematangan buah sawit melalui metode filtering," ujarnya.

Untuk menjawab tantangan kebutuhan petani dan dunia kelapa sawit secara lebih menyeluruh, Makky melengkapi alat tersebut dengan kecerdasan buatan. Sebelumnya, setiap objek yang direkam datanya langsung diolah tanpa identifikasi terlebih dahulu yang menandakan bahwasannya objek tersebut adalah buah sawit.

Namun, setelah dilengkapi kecerdasan buatan berupa jaringan saraf tiruan, kemampuan alat ini menjadi jauh lebih akurat dalam mengolah data yang direkam. Penggunaan teknik ini dilatarbelakangi perbedaan karakteristik setiap pohon sawit, bibit, unsur tanah, iklim, kadar air dan lain sebagainya.

"Jadi, supaya jumlah data yang dibutuhkan alat ini bisa dipakai dengan benar dan tidak terlalu banyak serta menghemat biaya kita menggunakan kecerdasan buatan yang dilengkapi dengan TensorFlow," kata Makky.

Selain dapat mengukur tingkat kematangan buah kelapa sawit yang masih berada di pohonnya termasuk membaca kualitas rendemen atau kualitas minyak hingga kandungan asam lemak bebas, alat ini sekaligus dilengkapi geotagging atau titik koordinat penggunaan alat.

Tidak hanya itu, sensor pengukur tingkat kematangan buah sawit ini juga bisa digunakan pabrik kelapa sawit dan petani untuk menghitung rata-rata produksi bulanan dan tahunan termasuk estimasi penggunaan pupuk.

Dari penelitian yang dilakukan Makky, rata-rata satu batang sawit setidaknya membutuhkan empat kilogram pupuk per tahunnya. Sayangnya di lapangan, dalam hal pemberian pupuk, belum semua orang dapat memberikan dalam takaran yang tepat. Alhasil, terdapat pohon sawit yang kekurangan atau kelebihan takaran pupuk dari seharusnya.

"Dengan menggunakan alat ini petani atau perusahaan sawit akan lebih mudah mengetahui takaran dosis yang tepat karena bisa berpatokan pada catatan atau historinya," kata dia.

Dengan tingkat akurasi rata-rata 90 persen, UNAND kini berhasil memproduksi lebih dari 100 unit sensor atau alat pengukur tingkat kematangan buah kelapa sawit. Selain di Ranah Minang, inovasi masa depan ini juga sudah digunakan di beberapa perusahaan besar di provinsi lain.

Bahkan, UNAND saat ini sedang menjajaki kerja sama dengan salah satu investor asal Swiss yang tertarik menggunakan alat tersebut di Eropa. Tidak hanya itu, investor asal Singapura juga menyatakan ketertarikan atas inovasi anak negeri tersebut.

Inovasi anak bangsa ini diharapkan menjadi sebuah harapan baru agar hilirisasi kelapa sawit di Indonesia lebih berkembang pesat di tengah ketidakpastian global.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka