Jakarta (KABARIN) - Istilah in this economy atau yang secara harfiah berarti “dalam kondisi perekonomian saat ini”, setahun belakangan sering diucapkan oleh generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, baik di dunia nyata maupun maya.
Istilah ini mengacu pada iklim perekonomian makro, produksi, dan konsumsi saat ini yang mempengaruhi keputusan keuangan sehari-hari.
Bagi kebanyakan Gen Z, perekonomian mereka belakangan tidak terlalu stabil, menyusul inflasi, tingginya angka pengangguran muda, hingga peralihan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang tiada henti menghiasi pemberitaan dan diskusi di internet.
Peluang kerja bagi generasi muda menjadi salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan oleh pemangku kepentingan saat ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 sebanyak 284,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk diperkirakan sekira 1,11 persen per tahun.
Angka yang begitu besar ini pun turut dibarengi dengan puncak bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada periode 2020-2030, di mana Gen Z atau mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012, merupakan kelompok demografis terbesar di tanah air.
Menurut BPS, jumlah mereka mencapai sekitar 27,94 persen dari populasi, atau sekitar 74,93 juta jiwa pada tahun 2025.
Namun, bonus demografi tak hanya membuka peluang, melainkan juga bumerang jika tidak bisa dimanfaatkan dengan baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dalam negeri.
Data BPS juga menunjukkan sejumlah tantangan signifikan, dengan hampir 10 juta Gen Z (usia 15-24 tahun) masuk ke dalam kategori NEET (Tidak Bekerja, Tidak Sekolah, Tidak Pelatihan) pada 2023. Angka ini didominasi perempuan dan menunjukkan bahwa masih ada isu pengangguran muda dan kesenjangan keterampilan.
#KaburAjaDulu hingga transisi AI
Penggunaan teknologi digital khususnya media sosial merupakan hal yang tidak bisa lepas dari Gen Z. Awal tahun 2025 ini, tagar “Kabur Aja Dulu” sempat ramai disuarakan oleh anak-anak muda Indonesia di platform Twitter/X.
Banyak dari mereka menyoroti sulitnya mendapatkan pekerjaan yang laik, gaji dan apresiasi yang sepadan, persyaratan rekrutmen kerja yang lebih inklusif, hingga kepastian untuk bisa hidup dengan lebih stabil di masa mendatang.
Tagar ini pun seharusnya menjadi refleksi tersendiri bagi pemerintah agar dapat menciptakan banyak lapangan kerja bagi masyarakat muda.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menilai #KaburAjaDulu bukan berarti ajakan untuk kabur, melainkan keinginan untuk meningkatkan kompetensi (skill) dan mendapatkan peluang bekerja yang lebih baik di luar negeri, dan bisa kembali untuk membangun Ibu Pertiwi.
Sementara itu, rintangan generasi muda untuk mendapatkan pekerjaan laik tak berhenti sampai di banyaknya jumlah mereka di Indonesia. Tak hanya membuat persaingan di bursa kerja menjadi lebih berat, mereka juga harus “bersaing” dengan kecerdasan buatan (AI).
Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), sekitar 23 persen dari semua pekerjaan akan berubah dalam lima tahun mendatang imbas dari implementasi AI yang lebih luas dalam dunia kerja.
WEF memproyeksikan sekitar 14 juta pekerjaan akan berkurang, 83 pekerjaan akan hilang, dan 69 juta pekerjaan baru akan muncul beberapa tahun ke depan.
Gen Z, yang tumbuh dalam dekapan digitalisasi yang begitu erat terutama sejak adanya pandemi COVID-19, dituntut untuk mampu memiliki keterampilan yang relevan agar bisa memanfaatkan transformasi teknologi ini dengan baik dan etis — tidak menghilangkan esensi “manusia” di dalamnya.
Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, penting bagi negara untuk hadir dan meninjau kembali strategi yang tepat dalam menciptakan lapangan pekerjaan seiring dengan akselerasi teknologi digital.
Dalam dunia yang kini berjalan dan berubah dengan sangat dinamis, manusia di dalamnya dituntut untuk terus belajar (life-long learning). Terlebih, generasi muda saat ini juga lebih mencari pekerjaan yang bukan sekadar memberikan sumber nafkah, melainkan memiliki makna (purpose-driven), apresiasi, dan perlindungan setimpal.
Strategi
Di sisi lain, pemerintah memiliki sebuah program yang dikhususkan bagi anak muda, terutama mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi, melalui program Magang Nasional yang diresmikan tahun ini.
Adapun program magang bergaji upah minimum kota/kabupaten (UMK) ini masuk dalam paket stimulus ekonomi 8+4+5 pemerintah, yang secara umum diharapkan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar menilai Magang Nasional harus bisa mempercepat transisi ke akses pekerjaan formal yang laik.
Ia mengatakan, idealnya program ini bisa membantu kelompok Gen Z yang saat ini mungkin juga terdampak signifikan karena situasi ekonomi melambat, uang jajan dari orang tua mungkin terus berkurang. Terlebih lagi ketidakpastian masa depan mereka karena ketiadaan lapangan kerja.
Namun, Wahyudi juga mengingatkan bahwa program ini harus dibarengi dengan strategi lintas sektor antara pemerintah dan dunia usaha, agar sifatnya tidak sementara dan benar-benar berdampak untuk mengurangi angka pengangguran muda.
Tahun 2025 bisa dibilang bukan tahun yang mudah bagi angkatan kerja muda. Ekspektasi yang begitu tinggi bersama dengan tantangan-tantangan yang menemani menjadi beban yang sangat berat jika harus mereka pikul sendiri.
Semua elemen harus hadir agar generasi muda mampu memiliki daya saing kuat, bisa bekerja dengan upah dan apresiasi yang layak, dan bisa hidup menikmati jerih payahnya, baik in this economy maupun masa depan yang menanti.