Gaza (KABARIN) - Jalur Gaza kembali menghadapi situasi kemanusiaan yang makin kritis, meski gencatan senjata antara Israel dan Hamas sudah berlaku sejak 10 Oktober. Lima puluh hari berlalu, kondisi di lapangan hampir tidak menunjukkan perbaikan berarti. Sebagian besar dari dua juta penduduk masih tinggal di tenda dan penampungan sementara, dengan layanan dasar yang makin sulit diakses.
Sistem air dan sanitasi rusak, sampah serta puing bangunan menumpuk di mana-mana, dan banyak jalan masih tertutup. Rumah sakit pun harus bekerja dengan pasokan obat yang makin menipis. Kondisinya makin berat karena krisis bahan bakar yang terus memburuk, sementara pengiriman bahan bakar ke Gaza disebut masih diblokir oleh otoritas Israel.
Union of Municipalities di Gaza pada Minggu (30/11) memperingatkan bahwa layanan esensial makin lumpuh akibat minimnya bahan bakar. “Israel terus menghalangi masuknya bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengoperasikan fasilitas-fasilitas vital,” ujar Alaa al-Din al-Batta, wakil presiden asosiasi tersebut, dalam konferensi pers di Khan Younis.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah kota hanya menerima pasokan bahan bakar untuk lima hari kerja sejak gencatan senjata dimulai. Akibatnya, pembersihan jalan, pemindahan puing, serta layanan penting bagi keluarga pengungsi jadi sangat terhambat. Al-Batta juga mendesak agar generator, sistem tenaga surya, suku cadang, hingga alat berat bisa segera dikirim demi menjaga operasi kemanusiaan sehari-hari.
Situasi di rumah sakit pun tak jauh berbeda. Kekurangan obat dan alat medis membuat layanan untuk pasien sakit dan terluka jadi sangat terbatas. Bassam Zaqout, direktur bantuan medis di Gaza, mengatakan bahwa sistem kesehatan masih beroperasi dengan sumber daya minim yang sama seperti saat perang berlangsung, tanpa adanya rekonstruksi fasilitas yang rusak. Ia menambahkan bahwa pembatasan Israel terhadap delegasi medis ikut memperparah kurangnya tenaga dokter, obat-obatan, dan alat laboratorium.
Layanan spesialis mata bahkan terancam berhenti total. Otoritas kesehatan menyebut sekitar 4.000 pasien glaukoma berisiko kehilangan penglihatan jika pasokan darurat tidak segera masuk.
Di tengah krisis yang belum mereda, kekerasan juga kembali meningkat. Sumber keamanan Palestina melaporkan adanya serangan artileri dan tembakan senjata berat oleh Israel pada Minggu pagi di wilayah timur kamp pengungsi Bureij. Enam serangan udara juga diluncurkan ke Rafah timur, serta tembakan artileri ke sebuah rumah di Bani Suheila dekat Khan Younis. Tidak ada korban jiwa dari serangan terhadap rumah tersebut.
Pejabat kesehatan mencatat sedikitnya tiga orang tewas dalam 24 jam terakhir, menambah total korban sejak 10 Oktober menjadi 357 jiwa dengan 908 orang luka-luka. Jika dihitung sejak 7 Oktober 2023, total korban tewas mencapai 70.103 orang dan 170.985 lainnya terluka.
Kantor media pemerintah Gaza yang dikelola Hamas menuding Israel melakukan 591 pelanggaran gencatan senjata, mulai dari serangan artileri, penembakan, hingga penghancuran infrastruktur. Mereka menyebut tindakan itu sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum humaniter internasional”, dan meminta Amerika Serikat, para mediator, serta Dewan Keamanan PBB untuk turun tangan.
Tim Pertahanan Sipil Gaza juga menghadapi tantangan besar. Mereka memperkirakan sekitar 10.000 jenazah masih tertimbun di bawah puing-puing bangunan. Namun jumlah pastinya sulit dipastikan karena minimnya alat berat. “Setiap hari, kami menerima banyak permintaan dari keluarga yang meminta kami mengevakuasi jenazah anggota keluarga mereka,” kata juru bicara Pertahanan Sipil Mahmoud Basal. Ia mendesak agar peralatan berat tambahan segera masuk demi mempercepat proses evakuasi dengan aman.