Wasiat Warisan merupakan upaya sinema yang signifikan untuk mengeksplorasi konflik keluarga yang dibalut budaya Batak Toba dan pemandangan yang indah
Jakarta (KABARIN) - Film drama komedi Wasiat Warisan yang dijadwalkan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai Kamis (4/12) menyajikan pemandangan yang megah dan menawan.
Film ini menampakkan pemandangan Danau Toba yang dikelilingi perbukitan hijau, Pulau Samosir dengan latar birunya perairan Danau Toba. Juga atraksi air mancur menari di Waterfront City Pangururan di Samosir yang menjadi infrastruktur modern, menjadi penanda kemajuan pembangunan di daerah, seluruhnya melatari kisah drama sengketa warisan yang rumit.
Meskipun bergenre drama komedi, film ini juga menyajikan unsur kesedihan yang menyentuh, bahkan bagi penonton yang berasal dari luar Suku Batak.
Ulos sebagai simbol pemersatu
Secara cerita, ulos menjadi kunci yang patut mendapat perhatian penonton sejak pertengahan film.
Apa yang disajikan oleh sutradara Agustinus Sitorus merupakan upaya luar biasa untuk mengangkat martabat ulos Indonesia, yang diharapkan dapat menarik perhatian pengamat perfilman dunia.
Film ini tidak hanya menampilkan ulos sebagai kain tenun, tetapi mewakilkan simbol pemersatu keluarga. Inilah yang "dijahit" oleh sutradara ke dalam elemen audio visual untuk menumbuhkan rasa bangga kepada masyarakat Kabupaten Samosir.
Ulos Samosir menjadi kriya artisan dari masyarakat lokal.
Agustinus Sitorus, yang sebelumnya dikenal sebagai produser, misalnya dalam "Pariban: Idola dari Tanah Jawa", kali ini turun langsung sebagai sutradara.
Langkah ini menandakan keinginannya untuk mewujudkan bentuk dasar film yang sesuai dengan idealisme pribadinya.
Ia melakukan riset untuk menggali kasus sengketa keluarga, termasuk persoalan pengelolaan hotel di kawasan Danau Toba, yang kemudian menjadi premis kuat dalam ceritanya.
Film ini diakhiri dengan penghormatan tulus, termasuk terhadap simbol ulos tadi.
Secara keseluruhan, film ini nyaman ditonton karena mampu memadukan suasana yang menenangkan dengan konflik yang memicu emosi haru.
Kisah kekeluargaan yang disajikan terasa hangat, jauh dari stigma karakter Batak yang dianggap keras. Cerita yang ditulis Agustinus justru terasa lembut karena menekankan ikatan darah dan nilai keluarga lebih penting dari apapun di dunia ini bagi semua orang.
Komedi khas Sumatera
Aktor Derby Romero (marga Nainggolan) memerankan Togar, anak bungsu laki-laki yang meraih kesuksesan di perantauan berkat pengorbanan kakak-kakak perempuannya.
Tiga bersaudara—Tarida (Sarah Sechan), Ramona (Astrid Tiar), dan Togar—mewarisi hotel keluarga yang terbengkalai setelah orang tua mereka meninggal. Konflik memuncak ketika hotel terancam disita akibat utang, menguji ikatan persaudaraan mereka.
Konflik yang intens diredam oleh kehadiran komedi dari para staf hotel, yang diperankan oleh Jenda Munthe, Vito Sinaga, Oppung Medan (Aldi Rangkuti), dan Jemimah Cita.
Salah satu adegan lawakan khas Sumatera mereka muncul saat staf hotel membahas lampu bertuliskan "Selamat Datang di Hotel Pariban" atau saat Vito Sinaga dimandikan oleh rekan-rekan staf hotel di kedalaman Danau Toba.
Vito menceritakan bahwa adegan penenggelaman tersebut tidak berbahaya karena sudah dipastikan mereka berenang di area dangkal.
Hanya bagi Vito, adegan itu paling berkesan. Karena tak lama setelah ditenggelamkan di Danau Toba, ia justru berjodoh dengan Ivana Meylanda, dan mereka pun melangsungkan pernikahan tak lama setelah syuting selesai.
Vito menjadikan adegan itu seperti "kado pernikahan" secara tidak langsung bagi istri dan keluarga besarnya di Medan.
Proses syuting berlangsung sekitar dua pekan di Samosir. Hasilnya memang terasa seperti promosi pariwisata daerah karena banyak gambar-gambar wisata dimaksimalkan dengan adanya dukungan instansi pemerintah.
Namun kekuatan ini juga bisa menjadi kekurangan bagi penonton yang idealis karena kesan promosinya. Tapi biarlah, karena gambar-gambar pemandangan yang ditampilkan memang luar biasa.
Pendalaman cerita
Sutradara melibatkan komika asal Medan, Sumatera Utara, Ridho Brado, sebagai konsultan komedi saat penulisan skenario untuk menajamkan benturan budaya yang lucu.
Interaksi budaya tidak hanya terlihat dari logat, tetapi juga dari nyanyian khas lapo yang dibawakan oleh aktor seperti Jenda Munthe dan Vito Sinaga di warung Bisnis Milik Keluarga Gultom (BMKG) yang dikelola oleh sahabat Togar, Theo Gultom (diperankan oleh Diknal Sitorus).
Elemen-elemen otentik itu membuat penonton dari Sumatera Utara merasa melekat dengan cerita ini karya nilai kekerabatan yang ditinggikan oleh film Wasiat Warisan ini.
Kualitas akting para pemain patut diacungi jempol. Derby Romero berhasil membawakan karakter Togar yang membumi, menampilkan konflik batinnya saat harus kembali ke daerah dari Jakarta.
Sarah Sechan (berdarah Sunda) tampil total sebagai Tarida, berjuang melafalkan bahasa Batak dengan fokus yang tinggi
Aktris senior Rita Matu Mona (veteran Teater Koma) juga tampil meyakinkan, menyajikan dialek Mamak yang natural, selevel dengan karakter Mak Gondut dalam film "Demi Ucok".
Saat Rita dan karakter Bapak (yang diperankan aktor Hamka Siregar) bersua di satu layar, penonton bisa jadi tisunya basah karena air mata atau lompat dari kursi bioskop karena gelak tawa.
Terakhir Femila Sinukaban, meskipun berdarah Batak Karo, menunjukkan kerja keras dalam menguasai bahasa Batak Toba karena dialek marga yang berbeda jauh.
Keragaman latar belakang aktor dan aktris film ini tak melemahkan kerja kolektif mereka demi setinggi-tingginya akurasi budaya dengan budaya Batak Toba. Tepuk tangan buat kolaborasi Astrid Tiar dan Bang Tigor sebagai pasangan suami istri yang sukses membuat emosi saat menonton film ini campur aduk dibuat mereka.
Secara keseluruhan, Wasiat Warisan merupakan upaya sinema yang signifikan untuk mengeksplorasi konflik keluarga yang dibalut budaya Batak Toba dan pemandangan yang indah.
Sengketa warisan hanyalah pemicu cerita yang memaksa para karakternya kembali dan menemukan jalan damai.
Film ini menjanjikan tampilan Samosir yang eksotis dengan pesan bahwa ikatan keluarga di Sumatera membutuhkan kehadiran kita, dan tidak ada yang dapat memisahkan kita dari daerah asal selain diri sendiri.
Ulasan ini menyimpulkan bahwa film ini akan meninggalkan makna yang berkesan, terutama bagi penonton di Medan dan Sumatera Utara. Karya ini ditujukan untuk mereka yang mencintai budaya dan nilai kekeluargaan Batak.