Bengkulu (KABARIN) - Gunung Patah di Bengkulu ternyata bukan hanya tentang keindahan alam pegunungan yang masih alami, tapi juga menyimpan cerita adat dan kearifan lokal yang dijaga turun-temurun oleh masyarakat setempat. Tahun ini, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) berkesempatan untuk menyusuri kawasan Hutan Lindung Raja Mendara, Gunung Patah, dalam program Satria Hutan Indonesia (SHI) 2025 bertema “Kenali Hutan, Jaga Kehidupan.”
Selama 13 hari penuh, sebanyak 24 calon anggota dan 18 anggota Mapala UI menantang diri mereka menapaki jalur-jalur terjal, menikmati rimbunnya hutan tropis, hingga berinteraksi dengan budaya masyarakat adat.
Ekspedisi ini dimulai dari Desa Manau Sembilan II, Bengkulu. Sebelum melangkah ke hutan, tim mengikuti prosesi adat berupa ziarah ke makam Puyang, tokoh yang dipercaya sebagai penyebar Islam di daerah tersebut. Dengan doa dan kemenyan, para peserta memohon restu agar perjalanan mereka selamat.
“Selain ekologinya yang kaya, cerita adat yang diwariskan dan dijaga turun-temurun oleh masyarakat setempat juga menjadi daya tarik yang unik,” ujar Ketua Mapala UI, Aldes Alfarizi.
Pada 5 Agustus 2025, rombongan resmi masuk jalur pendakian sepanjang 45 kilometer menuju puncak Gunung Patah. Rute ini memakan waktu 8–10 hari normal, tapi pengalaman yang mereka dapatkan jauh lebih berharga daripada sekadar capaian waktu.
Di sepanjang perjalanan, hutan tropis yang lebat menyambut dengan suara burung, salah satunya Burung Rangkong yang jadi penghuni khas kawasan ini. Tak hanya itu, mereka juga menemukan tulang belulang besar yang diduga berasal dari gajah—sebuah tanda betapa kayanya keanekaragaman hayati Gunung Patah.
Saat mencapai ketinggian 2.500 mdpl, pemandangan berubah total. Pohon-pohon besar perlahan digantikan oleh pepohonan lebih kecil yang seluruhnya tertutup lumut tebal. Inilah yang disebut Hutan Lumut, destinasi favorit para petualang karena atmosfernya bak negeri dongeng.
Di tengah perjalanan, peserta juga singgah ke Danau Tumutan Tujuh. Danau ini dipercaya sebagai sumber mata air bagi tujuh sungai besar yang mengalir di kawasan Hutan Lindung Raja Mendara. Suasananya begitu hening dan penuh kesakralan.
Tak jauh dari sana, rombongan menemukan Kawah Purba—sebuah cekungan besar dengan air berwarna hijau pucat yang selalu diselimuti kabut. Pemandangan ini seakan menjadi saksi bisu sejarah panjang Gunung Patah sebagai gunung berapi nonaktif setinggi 2.853 mdpl.
Setelah 11 hari perjalanan, logistik mulai menipis. Tim akhirnya memutuskan untuk turun lewat jalur alternatif Kance Diwe di Pagar Alam, Sumatera Selatan, dan keluar dari hutan pada 17 Agustus 2025. Momen ini sekaligus jadi penutup ekspedisi panjang yang penuh tantangan dan cerita.
Bagi Mapala UI, ekspedisi SHI 2025 bukan hanya sekadar pendakian, melainkan perjalanan untuk mengenal kekayaan alam sekaligus budaya adat yang hidup di kaki Gunung Patah. Dari rimbunnya hutan tropis, heningnya hutan lumut, sakralnya makam leluhur, hingga indahnya Danau Tumutan Tujuh, semua jadi pengalaman yang tak ternilai.
Gunung Patah membuktikan bahwa petualangan di alam Indonesia bukan hanya soal fisik dan daya tahan, tapi juga tentang belajar menghargai kearifan lokal yang sudah dijaga turun-temurun.
Baca juga: 7 tips jitu mendaki gunung Rinjani agar tetap aman dan nyaman