Jakarta (KABARIN) - Mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga periode 2021–2023, Alfian Nasution, didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp285,18 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Dakwaan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Andi Setyawan, menyebut Alfian diduga melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam tiga tahapan tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
“Ketiga tahapan dimaksud, yakni dalam pengadaan sewa terminal BBM oleh Pertamina, pemberian kompensasi JBKP RON 90 oleh pemerintah kepada Pertamina Patra Niaga tahun 2022 dan 2023, serta penjualan solar nonsubsidi pada PT PPN tahun 2020-2021,” kata JPU.
Dalam perkara ini, Alfian didakwa bersama sejumlah pihak lain, termasuk mantan pejabat di lingkungan Pertamina Patra Niaga, Pertamina, hingga pihak swasta. Mereka antara lain Hasto Wibowo, Toto Nugroho, Hanung Budya Yuktyanta, Dwi Sudarsono, Arief Sukmara, Indra Putra, dan Martin Haendra Nata.
Jaksa memaparkan, dalam pengadaan sewa terminal BBM, para terdakwa diduga memperkaya sejumlah pihak swasta, termasuk Komisaris PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi (PMKA) Gading Ramadhan Juedo, pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza, serta pemilik manfaat PT Orbit Terminal Merak Mohammad Riza Chalid. Nilai yang diduga dinikmati mencapai Rp2,9 triliun dari kegiatan sewa Terminal BBM Merak.
Sementara itu, pada pemberian kompensasi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) RON 90 oleh pemerintah pada 2022–2023, perbuatan para terdakwa disebut telah memperkaya Pertamina Patra Niaga sebesar Rp13,12 triliun. Adapun dalam penjualan solar nonsubsidi pada 2020–2021, jaksa menyebut PT Adaro Indonesia diuntungkan hingga Rp630 miliar.
Total kerugian negara dalam perkara ini disebut mencapai Rp285,18 triliun. Angka tersebut terdiri dari kerugian keuangan negara sebesar 2,73 miliar dolar AS dan Rp25,44 triliun, kerugian perekonomian negara Rp171,99 triliun, serta keuntungan ilegal sebesar 2,62 miliar dolar AS.
Jaksa menjelaskan, kerugian keuangan negara antara lain berasal dari impor produk kilang atau BBM senilai 5,74 miliar dolar AS serta penjualan solar nonsubsidi senilai Rp2,54 triliun. Sementara kerugian perekonomian negara muncul akibat kemahalan harga pengadaan BBM yang membebani ekonomi nasional, ditambah keuntungan ilegal dari selisih harga impor BBM yang melebihi kuota.
Dalam uraian dakwaan, JPU juga menyebut Alfian dan Hanung diduga meminta Direktur Utama Pertamina melakukan penunjukan langsung kepada PT Oiltanking Merak, meski kerja sama tersebut dinilai tidak memenuhi kriteria pengadaan.
Selain itu, pada kompensasi JBKP RON 90, Alfian bersama Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, diduga menyusun formula Harga Indeks Pasar (HIP) Pertalite RON 90 sebesar 99,21 persen MOPS 92. Formula tersebut menggunakan skema Jenis BBM Umum (JBU) Pertalite, hasil pencampuran Mogas RON 88 dan RON 92 dengan harga lebih tinggi.
Dalam kasus penjualan solar nonsubsidi, Alfian juga diduga menyetujui harga jual ke PT Adaro Indonesia tanpa mempertimbangkan harga dasar terendah dan tingkat keuntungan. “Ini sebagaimana diatur dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine Pertamina Patra Niaga Nomor A02-001/PNC200000/2022-S9,” tutur JPU.
Atas perbuatannya, para terdakwa terancam dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber: ANTARA