Istanbul (KABARIN) - Pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya, menegaskan pihaknya tidak akan melangkah lebih jauh dalam pembicaraan damai tanpa adanya jaminan konkret bahwa perang di Gaza benar-benar akan dihentikan. Ia menilai janji tanpa bukti hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
“Kami menegaskan kesiapan kami mencapai (kesepakatan) untuk mengakhiri perang, menarik pasukan Israel dari Gaza, dan membebaskan semua tawanan Israel – baik yang hidup maupun yang mati – dengan imbalan tahanan Palestina sesuai rencana (Presiden AS Donald) Trump,” kata al-Hayya dalam wawancara dengan Al-Qahera News, media pemerintah Mesir.
Namun, menurutnya, situasi di lapangan tidak menunjukkan tanda-tanda perdamaian. Israel disebut masih melancarkan serangan dan menahan bantuan kemanusiaan, terutama untuk warga di Gaza utara, bahkan setelah Hamas menyatakan setuju dengan rencana Trump.
Al-Hayya juga menuding Israel sebagai pihak yang lebih dulu melanggar gencatan senjata pada November 2023. “Israel tidak pernah menepati janjinya sepanjang sejarah,” ujarnya tegas. Ia menambahkan bahwa Hamas tidak mempercayai pemerintahan Israel sama sekali tanpa adanya pengawasan dan jaminan dari komunitas internasional.
Dalam pandangannya, satu-satunya jalan menuju kedamaian sejati adalah ketika rakyat Palestina bisa hidup bebas, menentukan nasib sendiri, dan membangun negaranya tanpa bayang-bayang perang. “Perang harus diakhiri selamanya agar rakyat Palestina dapat hidup dalam stabilitas seperti bangsa-bangsa lain di kawasan ini,” tambahnya.
Hamas dan Israel kini kembali duduk di meja perundingan secara tidak langsung di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pembicaraan itu berfokus pada upaya gencatan senjata dan pertukaran tahanan berdasarkan proposal yang diajukan Trump pada akhir September. Rencana tersebut mencakup 20 poin, termasuk pembebasan semua tawanan, perlucutan senjata Hamas, serta pembangunan kembali Gaza.
Sejak serangan dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 67 ribu warga Palestina telah meninggal dunia. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Serangan tanpa henti itu membuat Gaza porak-poranda dan memicu krisis kemanusiaan yang parah, dengan banyak warga kehilangan tempat tinggal serta kekurangan makanan dan obat-obatan.