Sumedang (KABARIN) - Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) memastikan proses Pendidikan Dasar Mental dan Disiplin Calon Praja Pratama (Diksarmendispra) bagi 1.509 calon praja angkatan XXXVI berjalan tanpa adanya praktik kekerasan.
Wakil Rektor Bidang Administrasi IPDN, Arief M. Edie, menegaskan bahwa seluruh kegiatan pendidikan dasar yang berlangsung dari 30 September hingga 14 Oktober 2025 difokuskan untuk membentuk mental, karakter, dan disiplin calon pamong praja tanpa kontak fisik atau tindakan kasar.
“Di IPDN sudah zero kekerasan. Untuk calon praja belum berhubungan dengan senior. Masih ditangani oleh tim Diksarmendispra dan juga tidak melibatkan jajaran IPDN,” ujar Arief di Sumedang, Jumat.
Arief menjelaskan, selama masa pelatihan, calon praja mendapatkan materi dari instruktur Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Jawa Barat. Program ini dirancang profesional untuk membangun karakter tangguh, berintegritas, dan siap menjadi pelayan masyarakat.
“Kami pastikan seluruh kegiatan pendidikan dasar ini dilakukan profesional dengan tidak ada kekerasan yang dilakukan,” tegasnya.
Para calon praja juga dibekali berbagai pelatihan seperti fisik, bela diri, wawasan kebangsaan, hingga pengenalan senjata, sebagai langkah awal sebelum memulai pendidikan penuh di kampus IPDN.
Meski demikian, Arief turut mengonfirmasi adanya kabar duka atas meninggalnya salah satu calon praja bernama Maulana Izzat Nurhadi asal Maluku Utara, pada Rabu (8/10) malam. Ia menjelaskan, Maulana sempat mengeluh lemas usai apel malam dan langsung mendapat penanganan dari petugas medis kampus.
“Pada saat lemas masih kita tangani. Kemudian ketika tidak membaik segera kita kirim ke Rumah Sakit Unpad dan dinyatakan meninggal pada Rabu pukul 23.00 WIB,” kata Arief.
Dari hasil pemeriksaan pihak rumah sakit, penyebab kematian Maulana adalah henti jantung dan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya.
“Dokter menyatakan henti detak jantung dan ketika almarhum sakit kita sudah menghubungi orang tuanya. Orang tuanya juga sudah ikhlas. Tidak masalah,” jelasnya.
Arief menambahkan, pihak kampus sempat menawarkan opsi autopsi atau visum demi transparansi, namun keluarga menolak dan menerima hasil pemeriksaan medis yang sudah ada.