Bournemouth, si underdog yang kini guncang Liga Inggris!

waktu baca 5 menit

Di bawah rancangan Iraola, Bournemouth menjadi tim yang sulit dikalahkan

Jakarta (KABARIN) - Lupakan dulu upaya Arsenal mengukuhkan diri sebagai tim terkuat Liga Premier sejauh ini atau usaha Manchester United menyeruak ke empat besar.

Mari simak sepak terjang Bournemouth yang bersama Sunderland menjadi dua tim biasa-biasa, namun tengah mengguncang kemapanan Liga Premier Inggris.

Walau sudah berdiri sejak 126 tahun lalu, Bournemouth baru bergabung dengan Liga Premier pada musim 2015-2016 setelah menjuarai Liga Championship pada 2015.

Di bawah asuhan Eddie Howe yang kini menangani Newcastle United, Bournemouth bertahan selama lima musim, bahkan finis peringkat kesembilan pada 2018. Tapi kemudian terdegradasi ke Liga Championship pada 2020.

Dua musim tanpa Liga Premier, mereka promosi kembali ke liga elite Inggris itu pada 2022.

Finis urutan ke-15 pada 2023, di bawah asuhan pelatih Andoni Iraola, Bournemouth tuntas di urutan ke-12 pada 2024, dan kesembilan tahun lalu, jauh di atas Manchester United yang nyaris terdegradasi.

Kini, dengan arsitektur permainan masih di bawah rancangan Iraola, Bournemouth menjadi tim yang sulit dikalahkan. Mereka kini tepat di bawah Arsenal yang memuncaki klasemen Liga Premier setelah sembilan kali bertanding.

Jika Manchester City, Manchester United, Liverpool, dan Chelsea telah kalah minimal tiga kali dalam pertandingan liga musim ini, maka Bournemouth hanya pernah sekali mengalami kekalahan.

Catatan itu hanya bisa disamai Arsenal, tapi The Gunners tentu lebih dahsyat karena memenangkan hampir semua dari delapan laga lainnya.

Satu-satunya kekalahan yang diderita Bournemouth dalam pertandingan liga musim ini adalah ketika melawan Liverpool.

Itu adalah laga pertama dari total sembilan pertandingan yang sudah dijalani Bournemouth.

Tapi sejak dikalahkan 2-4 oleh Liverpool di Anfield pada 16 Agustus, belum ada lagi tim yang mengalahkan Bournemouth.

Sepanjang musim ini Bournemouth bertanding bak banteng ketaton, lari sana lari sini, menginvasi ruang permainan lawan, dan mengubah daerah permainan sendiri sebagai benteng yang sulit ditembus lawan.

Bukan itu saja, dalam enam dari sembilan pertandingan pertamanya, Bournemouth selalu menjadi tim yang dominan mengatur lalu lintas bola.

Terus berlari

Bournemouth juga sangat berbahaya dalam menyerang lawan. Buktinya, sudah 107 peluang mereka ciptakan, yang 41 di antaranya peluang emas.

Dari peluang sebanyak itu mereka berhasil mencetak 16 gol, sama dengan yang dibuat Arsenal.

Ketika membungkam Tottenham 1-0 dalam laga tandang pada 30 Agustus, Bournemouth memang kalah dalam distribusi bola, tapi mereka membuat gawang Spurs diteror habis-habisan.

Waktu itu mereka membuat 18 peluang yang enam di antaranya tepat sasaran, sedangkan Spurs hanya bisa melepaskan enam tembakan yang dua di antaranya tepat menyasar gawang.

Dengan catatan seseram itu, ada alasan kuat untuk tim-tim Liga Premier untuk ekstra waspada terhadap Bournemouth, termasuk Manchester City yang akan menjamu mereka Minggu malam pekan ini.

Jika menang di Stadion Etihad, maka Bournemouth mencetak sejarah, yakni untuk pertama kali menang di Etihad setelah 10 lawatan tanpa pernah menang di kandang tim Pep Guardiola itu.

Skenario itu juga bisa membuat Bournemouth membuat pencapaian monumental, mengumpulkan 21 poin dari 10 laga pertamanya di Liga Premier. Ini poin terbesar yang dicapai klub itu dalam periode ini.

The Citizens boleh saja membanggakan catatan apik mereka kala menghadapi Bournemouth di Etihad.

Tapi Guardiola dan para pemainnya yang jago mengatur ritme permainan, mesti tahu Iraola telah menyulap Bournemouth menjadi tim yang mementahkan segala ekspektasi dan mengguncang sepak bola Inggris dengan pendekatan bermain yang ngotot.

Iraola telah menggembleng timnya menjadi skuad yang tak lelah melancarkan tekanan tinggi, dari lini ke lini, dari menit ke menit.

Untuk memastikan timnya konstan melakukan tekanan, Iraola memastikan timnya bugar, sekaligus mendoktrin pemain-pemainnya untuk mengutamakan kerja sama tim, apalagi saat kehilangan bola.

Iraola menuntut pemain-pemainnya terus berlari untuk mencari ruang dan sekaligus meneror lawan kala menguasai bola. Di sini, transisi yang cepat menjadi bagian integral dari sukses pola bermain seperti ini.

Gaya bermain mereka memang bukan countre-pressing atau gegenpressing ala Juergen Klop, yang berhasil menjinakkan tim-tim yang memuja operan-operan pendek seperti dianut Manchester City.

Tapi pendekatan Iraola di Bournemouth itu telah mempengaruhi sistem permainan Liga Inggris saat ini.

Kutukan Etihad

Formulanya di Bournemouth telah mengubah gaya bermain tim-tim Liga Premier. Kini, para pemain Liga Primer menjadi berlari lebih ngotot, lebih cepat, dan lebih menjelajahi lapangan.

Pertandingan-pertandingan pun kian ditentukan oleh momen transisi di mana tim-tim yang kuat memenangkan duel dan unggul secara teknis adalah mereka yang berhasil memetik hasil positif.

Uniknya Bournemouth melakukan semua itu ketika mereka kehilangan sejumlah pemain penting.

Itu termasuk tiga bek cemerlang, yakni Dean Huijsen yang pindah ke Real Madrid, Illia Zabarnyi ke Paris Saint Germain, dan Milos Kerkez ke Liverpool.

Total uang yang mereka dapatkan dari penjualan ketiga bek ini adalah 140 juta pound (Rp3,07 triliun).

Manajemen klub ini tak gegabah menggunakan uang masuk sebanyak itu, dengan menginvestasikan kapital besar itu dengan bijak. Dan Iraola menjadi bagian penting dalam strategi yang terukur ini.

Hasilnya, mereka pun mendapatkan para pengganti yang sama andal dengan pemain-pemain yang dilego ke klub-klub lain pertengahan tahun ini.

Mereka mendapatkan bek tengah Bafode Diakite, bek kiri Adrien Truffert dan bek tengah Veljko Milosavljevic. Semuanya masih muda, dan harganya pun tak terlalu mahal.

Bersama Marcos Senesi yang telah lama menjadi andalan Bournemouth, ketiga pemain baru itu berhasil menambal bolong yang ditinggalkan Huijsen, Zabarnyi dan Kerkez.

Bournemouth juga liat dan tangguh di tengah, berkat pemain-pemain yang sigap membaca arah permainan, khususnya duo gelandang tengah, Tyler Adams dan Alex Scoott.

Mereka juga tajam di depan gawang lawan oleh hadirnya Evanilson dan Eli Junior Kroupi, yang kerap dipasang sebagai ujung tombak tunggal.

Si ujung tombak ini hampir selalu diapit oleh trio gelandang serang; Antoine Semenyo, Justin Kluivert dan Marcus Tavernier. Mereka memastikan Bournemouth berbahaya untuk tim pertahanan mana pun, termasuk Manchester City.

Dengan modal sekuat itu pula Bournemouth mungkin bisa mengakhiri kutukan di Stadion Etihad.

Tapi kalaupun tidak bisa melakukannya, Bournemouth pasti memainkan pertandingan yang semenarik disajikan oleh tim-tim elite Liga Premier.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka