Jakarta (KABARIN) - Kasus perundungan di lingkungan sekolah ternyata masih sulit dihapuskan sepenuhnya. Psikolog klinis Kasandra Putranto menjelaskan bahwa bullying di institusi pendidikan merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi banyak faktor sosial dan psikologis.
Menurut Kasandra, perilaku perundungan sering muncul dari perasaan iri, dendam, atau keinginan untuk menunjukkan kekuasaan di antara kelompok anak atau remaja.
“Pelaku mungkin meniru perilaku dari rumah atau media, sementara korban sering enggan melapor karena takut dianggap lemah atau dibalas,” ujar Kasandra.
Ia menilai masih banyak pihak yang keliru memahami tindakan bullying. Tak jarang, guru, siswa, hingga orang tua menganggapnya hanya sebatas candaan atau bagian dari masa remaja.
“Ini menciptakan budaya di mana perundungan dinormalisasi, terutama jika hanya verbal atau online, bukan fisik,” tambahnya.
Kasandra juga menyoroti kurangnya pelatihan dan standar penanganan di sekolah. Banyak lembaga pendidikan belum memiliki panduan jelas untuk mendeteksi atau mengatasi bullying secara efektif. Selain itu, pengawasan yang terbatas di area seperti toilet, koridor, dan dunia maya membuat aksi perundungan sering terjadi tanpa terpantau.
Faktor eksternal seperti kekerasan di rumah, pengaruh teman sebaya, dan paparan konten media yang mengandung kekerasan turut memperburuk situasi. Kasandra menekankan bahwa kurangnya empati menjadi akar lain yang membuat pelaku mudah melakukan kekerasan.
“Pelaku sering kali kurang empati karena belum matang secara emosional, sementara korban bisa mengalami trauma seperti stres, depresi, atau bahkan bunuh diri,” jelasnya.
Kasandra menyarankan agar setiap kasus perundungan ditangani dengan pendekatan menyeluruh yang melibatkan banyak pihak, mulai dari sekolah, keluarga, hingga tenaga profesional.
“Tanpa intervensi holistik seperti konseling dan edukasi sekolah, masalah ini akan terus berulang,” katanya.
