Sinopsis film "Marsinah: Cry Justice" angkat tragedi dan ketimpangan hukum di masa Orba

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Nama Marsinah kembali mencuri perhatian publik setelah Presiden Prabowo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh berjasanya bagi bangsa dan negara pada peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara, Jakarta. Marsinah dikenal sebagai aktivis buruh perempuan asal Jawa Timur yang berani memperjuangkan hak pekerja di masa Orde Baru dan kini resmi menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Kisah perjuangan dan misteri kematian Marsinah pernah diangkat ke layar lebar lewat film berjudul Marsinah: Cry Justice produksi PT Gedam Sinemuda Perkasa. Film berdurasi 115 menit ini digarap oleh sutradara Slamet Rahardjo Djarot, dengan produser Gusti Randa, Damsyik Syamsul Bachri, dan Emirsyah. Penulisan naskahnya melibatkan Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi, serta Slamet Rahardjo Djarot.

Film ini pertama kali diputar di Festival Film Internasional Pusan, Korea Selatan, pada 15 November 2001 dan tayang di Indonesia setahun kemudian pada 18 April 2002. Tak berhenti di situ, karya ini juga sempat diputar di Festival Film CINEFAN di India pada 19 Juli 2003.

Berbeda dengan film biografi pada umumnya, Marsinah: Cry Justice tidak menampilkan langsung kisah hidup Marsinah atau detik penculikannya pada 8 Mei 1993. Fokus cerita justru terletak pada kekacauan proses hukum pasca kematiannya, menggambarkan bagaimana keadilan bisa tertekan oleh kekuasaan.

Kisah perjuangan Marsinah dan para buruh di PT Catur Putra Surya (CPS) ditampilkan sekilas dalam adegan hitam putih. Film ini lebih menyoroti nasib Mutiari, Kepala Personalia PT CPS, yang menjadi korban penyiksaan hingga kehilangan kandungan akibat interogasi brutal aparat. Ia dijadikan tersangka dalam kasus kematian Marsinah hanya untuk menenangkan tekanan publik.

Mutiari dan beberapa orang lainnya dipaksa mengaku bersalah setelah melalui penyiksaan panjang. Akhirnya, mereka dibebaskan Mahkamah Agung karena bukti yang tidak kuat. Namun, sosok pelaku di balik kematian Marsinah hingga kini belum pernah terungkap.

Lewat pendekatan sinematik yang kuat, film ini menyoroti betapa rapuhnya keadilan di tengah tekanan kekuasaan, sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap perjuangan buruh di masa lalu.

Daftar pemain:

  • Megarita sebagai Marsinah
  • Dyah Arum Retnowati sebagai Mutiari
  • Liem Ardianto Lesmana sebagai Yudi Susanto
  • Djoko Ali sebagai Yudi Astono
  • Suparno sebagai Suprapto
  • Pritt Timothy sebagai Soewono
  • Handoko Surya Wijaya sebagai Bambang Wuryantoyo
  • Kemal Rudianto sebagai Karyono Wongo
  • Djoko Ari Purnomo sebagai Widayat
  • Marwito sebagai A.S. Prayogi
  • Intarti sebagai Marsini
  • Tosan Wiryawan sebagai Hary Sarwono

Penghargaan:

Film ini menuai banyak apresiasi di berbagai ajang, antara lain:

  • Slamet Rahardjo Djarot sebagai “Sutradara Terpuji” di Festival Film Bandung 2003 (Menang)
  • Dyah Arum sebagai “Aktris Terpuji” di Festival Film Bandung 2003 (Menang)
  • Berthy Lindia Ibrahim sebagai “Penata Artistik Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Menang Piala Citra)
  • Emirsyah dan Gusti Randa sebagai “Film Terpuji” di Festival Film Bandung 2004 (Menang)
  • Slamet Rahardjo Djarot sebagai “Film Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Slamet Rahardjo Djarot sebagai “Sutradara Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Tosan Wiryawan sebagai “Aktor Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Megarita sebagai “Aktris Pendukung Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi, dan Slamet Rahardjo sebagai “Skenario Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Yudi Datau sebagai “Sinematografi Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)
  • Tri Rahardjo sebagai “Editing Terbaik” di Festival Film Indonesia 2004 (Nominasi)

Bagikan

Mungkin Kamu Suka