Mataram (KABARIN) - Peristiwa banjir bandang, pekan ini, yang menerjang sejumlah daerah di Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara, memantik nalar berpikir kita untuk mengetahui pemicu utama kenapa bencana alam itu muncul.
Air berwarna cokelat kehitaman, hingga kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus banjir memperlihatkan secara gamblang tentang seberapa parah kerusakan lingkungan di bagian hulu sungai. Jika hulu rusak, maka hilir pasti banjir.
Kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Lampung, hingga Aceh, merupakan hulu bagi banyak sungai yang mengalir di sepanjang Pulau Sumatra. Ketika lingkungan berubah sedikit saja, maka alam langsung memberikan respons tegas melalui banjir atau tanah longsor agar kita semua sadar bahwa kegiatan ekstraktif dan eksploitatif tak lagi relevan, mengingat kondisi Planet Bumi yang sudah rapuh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa bencana hidrometeorologis yang disebabkan aktivitas cuaca selalu menduduki posisi puncak setiap tahun, dengan porsi lebih dari 98 persen.
Letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan dikelilingi oleh laut, mendukung proses pembentukan awan. Matahari bersinar setiap hari, ditambah stok air melimpah dari laut adalah perpaduan yang sempurna untuk menciptakan hujan.
Lantas, apakah kita layak menyalahkan hujan yang turun secara alamiah dari proses penguapan sebagai faktor utama pemicu bencana banjir dan tanah longsor?
Perubahan tutupan hutan
Dari berbagai dokumentasi, air bah yang melanda semua daerah di Indonesia, kita tidak pernah melihat genangan banjir yang tampak bening. Air banjir selalu datang dengan warna kecokelatan, kemerahan, bahkan kadang hitam legam.
Aktivitas pertambangan mineral di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli, Sumatra Utara, yang membabat kawasan hutan hujan tropis dibayar kontan dengan bencana banjir bandang pada 25 November 2025.
Ironisnya industri ekstraktif tersebut justru berlokasi tak jauh dari daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru. Tanah tak lagi mampu menyerap limpasan air hujan akibat perubahan tutupan hutan menjadi lahan tambang terbuka.
Banyak jurnal ilmiah membahas lahan hutan yang gundul menyebabkan daya serap air jauh lebih rendah ketimbang lahan berhutan. Bahkan, saat mengenyam pendidikan di sekolah, kita mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ihwal manfaat hutan dalam mengendalikan limpasan air hujan agar tidak menimbulkan bencana.
Degradasi lingkungan akibat deforestasi memperburuk bencana hidrometeorologis, sekaligus meningkatkan laju erosi dan sedimentasi. Penduduk yang bermukim di bagian hilir sungai adalah kelompok paling terdampak, saat terjadi bencana alam berupa banjir.
Peristiwa banjir bandang di sejumlah daerah di Pulau Sumatra mengajarkan kita untuk selalu menjaga tutupan hutan. Bencana hidrometeorologis tidak saja mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi, tapi juga politik.
Ketika banjir bandang terjadi yang rugi bukan hanya masyarakat akar rumput, tapi juga pemerintah dan sektor swasta. Dana APBD atau APBN yang seharusnya dipakai untuk membiayai berbagai program pembangunan terpaksa harus dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur publik yang rusak akibat diterjang banjir.
Begitupun sektor swasta yang juga menanggung rugi karena terpaksa harus berhenti beroperasi akibat jalan dan jembatan putus, atau listrik padam dalam waktu yang lama. Jika kantor atau sarana produksi mereka terendam banjir tentu nilai kerugian yang ditanggung menjadi jauh lebih besar.
Peristiwa banjir bandang di Pulau Sumatra punya akar masalah serupa dengan banjir yang pernah melanda Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada awal tahun 2025. Deforestasi hutan menjadi ladang jagung dan tambang mineral menyebabkan sungai-sungai di daerah itu meluap.
Pemulihan hutan dan daerah tangkapan air, serta reklamasi tambang merupakan solusi paling ideal agar tidak ada lagi bencana banjir di masa depan. Pepohonan lokal yang punya sistem perakaran kuat, seperti meranti, damar, beringin, dan gaharu harus ditanam di lahan-lahan yang gundul.
Pemerintah harus tegas menegakkan aturan pelarangan pembukaan lahan di kawasan hutan dan lereng curam, serta moratorium total terhadap aktivitas penebangan yang dilakukan di kawasan hutan maupun daerah aliran sungai.
Perubahan iklim
Siklon Tropis Senyar dan bibit siklon 95B yang terjadi di bagian utara Pulau Sumatra memicu hujan ekstrem dalam waktu singkat. Sungai-sungai tak lagi mampu menahan volume air hujan, lalu menimbulkan banjir bandang.
Kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama ditambah kemunculan badai tropis adalah perkawinan yang sempurna untuk melahirkan bencana. Badai tropis menciptakan hujan ekstrem, sedangkan deforestasi membuat tanah kehilangan daya serap terhadap air.
Banyak studi iklim mengungkapkan bahwa perubahan iklim membuat intensitas badai tropis cenderung meningkat dan kuat. Laut yang hangat akibat pemanasan global berperan sebagai bahan bakar untuk membangkitkan siklon tropis.
Indonesia diapit dua lokasi paling subur siklon tropis dunia, yakni barat laut Samudera Pasifik dan tenggara Samudera Hindia. Posisi Indonesia yang didominasi laut membuat negara ini rentan terhadap dampak destruktif dari perubahan iklim.
Kemunculan badai tropis yang semakin kuat dan semakin sering adalah contoh kecil dari pengaruh perubahan iklim.
Jika kita tidak segera bertindak mengurangi penyebab dan mengurangi dampak, maka kita secara tak langsung telah menciptakan kuburan air bagi generasi mendatang.
Alquran melalui Surat Ar-Rum ayat 41 menyampaikan secara jelas kalimat yang membuat kita merenung; "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Kitab suci mengingatkan kita semua untuk selalu menjaga hubungan baik antara manusia dengan alam. Dan, kita harus berhenti menyalahkan hujan sebagai indung keladi dari berbagai bencana hidrometeorologis yang terjadi selama ini.