Masyarakat Adat Dayak hadapi krisis gambut dan ruang hidup akibat kelapa sawit

waktu baca 4 menit

Pontianak (KABARIN) - Dataran rendah Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, dulunya dikenal dengan hamparan hutan gambut yang lebat dan hijau. Namun kini, lanskap tersebut telah berubah drastis menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang meluas.

Perubahan ini menghadirkan tantangan besar bagi Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak, sebuah komunitas yang menggantungkan hidupnya pada keseimbangan alam, terutama ekosistem gambut yang menjadi fondasi utama kehidupan mereka.

Komunitas ini, bagian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tetap memegang teguh nilai-nilai leluhur yang mengajarkan pentingnya menjaga hutan, tanah, dan air sebagai sumber kehidupan. Namun, kondisi alam di sekitar mereka berubah cepat, mengikis ruang hidup sekaligus sumber penghidupan yang selama ini menopang keberlanjutan komunitas.

Sekitar 70 persen wilayah adat Binua Sunge Samak terdiri dari tanah gambut yang rapuh, tapi sangat kaya akan kehidupan. Gulwadi, warga setempat, mengenang masa ketika gambut yang bisa mencapai dua meter kedalaman, mampu menahan air dengan baik.

Namun, pembukaan hutan dan masuknya kelapa sawit menyebabkan fungsi penyerapan air gambut menurun drastis, memicu banjir yang makin sering dan parah.

Air banjir yang dulu berwarna hitam pekat kini berubah menjadi kecokelatan karena tercemar limbah dan tanah terbuka, sehingga menjadikan sungai sebagai sumber penyakit alih-alih sumber kehidupan. Warga kehilangan akses air bersih sementara mereka harus menghadapi dampak buruk dari degradasi lingkungan yang terus berlangsung.

Krisis Sosial dan Lingkungan


Amiang, tetua adat Binua Sunge Samak, menegaskan bahwa wilayah adat mereka merupakan warisan leluhur yang harus dijaga. Ia mengingat masa ketika hutan masih lebat, pohon-pohon buah tumbuh liar, dan air gambut masih tinggi tanpa menyebabkan banjir.

Kini, ladang sering gagal panen, sungai mulai tercemar, dan anak cucu mereka hidup dalam ketidakpastian. Situasi ini diperparah oleh masuknya perusahaan besar perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang membuka lahan gambut dalam skala besar tanpa memperhatikan dampak ekologis.

Lorensius Loren, pegiat lingkungan, menambahkan bahwa sekitar 60 persen wilayah Kubu Raya merupakan lahan gambut seluas 342.984 hektare dan pembukaan lahan gambut secara masif ini merusak fungsi alami ekosistem gambut yang vital untuk menjaga keseimbangan air dan iklim lokal.

Sriwikensi, ibu rumah tangga sekaligus buruh lepas, menceritakan pengalaman pahitnya saat banjir berkepanjangan melanda tiga desa pada awal tahun 2025. Pengungsian menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi, termasuk adanya balita dan lansia yang sakit serta ibu yang melahirkan di pengungsian.

Banjir bukan lagi bencana sesaat, melainkan bagian dari keseharian yang harus dihadapi tanpa kepastian. Situasi ini menunjukkan betapa perubahan iklim dan degradasi gambut membawa dampak langsung yang menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat.

Generasi muda Binua Sunge Samak, seperti Franseda, mengingatkan pentingnya keberpihakan negara dalam melindungi hak masyarakat adat. Ia menyoroti lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang seharusnya menjadi payung hukum untuk melindungi tanah, air, dan hutan yang mereka warisi secara turun-temurun.

Franseda khawatir tanpa perlindungan hukum, tradisi menjaga alam akan hilang, dan komunitas mereka pun terancam punah. Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan yang terus terjadi ibarat genosida halus terhadap masyarakat adat.

Hilangnya Tutupan Gambut


Penurunan tutupan gambut membawa konsekuensi serius bagi ekosistem dan iklim global. Ahmad Syukri, Direktur Linkar Borneo, menjelaskan bahwa lahan gambut merupakan penyimpan karbon besar hingga 5 persen karbon bumi tersimpan di gambut tropis. Pengeringan dan degradasi lahan gambut menyebabkan karbon dilepas ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca seperti CO2 dan metana, sehingga mempercepat pemanasan global.

Selain memperburuk kondisi iklim, degradasi gambut menyebabkan penurunan fisik lahan yang meningkatkan risiko banjir dan menurunnya produktivitas pertanian yang bergantung pada stabilitas lahan tersebut. Kebakaran lahan gambut, kanal drainase yang mempercepat pengeringan, serta pembangunan infrastruktur tanpa pengelolaan berkelanjutan semakin memperparah kerusakan.

Untuk mengatasi masalah ini, Linkar Borneo mengusulkan restorasi daerah tangkapan air dan peningkatan kapasitas drainase alami sebagai solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalbar. Mereka mendorong sinergi pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menjaga ekologi daerah gambut secara berkelanjutan.

Kampung Gambut Siantan Hilir menjadi contoh model konservasi lahan gambut yang mengadopsi pertanian organik dan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjaga dan memulihkan tutupan gambut. Inisiatif tersebut menjadi harapan bagi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Bagi Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak, hutan dan gambut bukan sekadar lahan, melainkan identitas dan sumber kehidupan.

"Kami hidup bersama hutan, air, dan tanah kami. Jika semuanya rusak, kami pun hilang dari dunia ini," kata Amiang penuh haru.

Kehilangan gambut tidak hanya berarti kehancuran lingkungan, tetapi juga musnahnya ingatan dan keberadaan sebuah komunitas yang telah hidup ratusan tahun berdampingan dengan alam. Perlindungan terhadap mereka adalah langkah penting menjaga keanekaragaman budaya sekaligus keberlangsungan ekosistem yang vital bagi bumi.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka