Jakarta (KABARIN) - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan perubahan besar bagi dunia pasar modal. Sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai demutualisasi Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang disusun sebagai tindak lanjut dari UU P2SK.
Lewat kebijakan ini, struktur kelembagaan BEI yang selama ini berbentuk mutual—di mana bursa dimiliki oleh para anggota bursa—akan diubah menjadi perseroan dengan kepemilikan yang lebih luas.
Menurut Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin, transformasi ini bukan sekadar perubahan teknis. “Demutualisasi akan membuka kepemilikan BEI bagi pihak selain perusahaan efek.
Langkah ini penting untuk memperkuat tata kelola, mengurangi benturan kepentingan, dan meningkatkan daya saing global pasar modal Indonesia,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta.
Mengikuti negara tetangga
Demutualisasi sebenarnya sudah lama menjadi standar di banyak negara. Bursa efek di Singapura, Malaysia, hingga India sudah lebih dulu melewati tahap transformasi ini. Hasilnya? Model tata kelola yang lebih profesional, adaptif, dan responsif terhadap perubahan ekonomi global.
Dengan struktur baru, BEI diproyeksikan semakin leluasa melakukan inovasi—mulai dari instrumen derivatif, ETF, hingga produk pendanaan infrastruktur dan transisi energi. Semuanya dinilai dapat memperdalam pasar dan mengangkat likuiditas.
“Tujuan kami adalah menyelaraskan tata kelola BEI dengan praktik terbaik internasional, tanpa melupakan kepentingan publik dan integritas pasar,” kata Masyita.
Meski menjadi langkah penting, pemerintah menegaskan bahwa demutualisasi bukan satu-satunya jawaban. Ekosistem pasar modal harus ikut diperkuat, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
Di sisi penawaran, masalah klasik seperti rendahnya free float masih menjadi tantangan. Free float yang kecil membuat perdagangan kurang bergairah dan harga saham tidak sepenuhnya menggambarkan sentimen pasar. Karena itu, peningkatan free float menjadi salah satu agenda paralel yang harus berjalan berdampingan dengan demutualisasi.
“Kebijakan ini harus dibarengi penguatan ekosistem agar benar-benar berdampak pada kedalaman dan likuiditas pasar,” jelas Masyita.
Dorong partisipasi investor lokal
Dari sisi permintaan, partisipasi investor lokal—baik institusi maupun ritel—juga perlu diperluas. Pemerintah kini menyiapkan sejumlah aturan pendukung untuk investor institusional, termasuk lembaga dana pensiun, lewat pengaturan skema cut loss.
Menurut Masyita, skema tersebut bertujuan memberikan kepastian bagi pengelola dana pensiun agar lebih percaya diri berinvestasi di pasar modal dan berperan sebagai anchor investor yang memperkuat stabilitas pasar.
Strategi pengembangan pasar modal Indonesia juga banyak mengambil pelajaran dari India. Negara tersebut mencatat pertumbuhan luar biasa dalam satu dekade terakhir—ditopang tata kelola yang baik, partisipasi investor domestik melalui skema systematic investment plan (SIP), efisiensi teknologi, serta meningkatnya jumlah emiten berkualitas.
Hasilnya? Kapitalisasi pasar India melonjak dari 1,56 triliun dolar AS pada 2014 menjadi 5,17 triliun dolar AS pada 2024.
Libatkan banyak pihak
RPP demutualisasi sendiri tengah melalui proses kajian teknis mendalam. Pemerintah menggandeng regulator, SRO seperti BEI, pelaku industri, hingga DPR untuk memastikan aturan yang disusun benar-benar komprehensif.
“Kami ingin memastikan pasar modal menjadi sumber pembiayaan jangka panjang yang mampu mendorong transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju,” tutup Masyita.