Ini tips supaya milenial dan gen Z betah di tempat kerja menurut pakar

waktu baca 4 menit

"Pendekatan manajemen sumber daya manusia perlu beradaptasi dengan kebutuhan mereka, seperti melalui penerapan kerja fleksibel atau hibrida"

Jakarta (KABARIN) - Generasi milenial dan generasi Z sering disebut punya mobilitas karier tinggi, tapi tingkat loyalitasnya rendah. Dua generasi ini kini mendominasi dunia kerja, namun pendekatan lama dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) dinilai tidak lagi efektif untuk membuat mereka bertahan di satu tempat kerja.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya (UAJ), Prof. Dr. Sylvia Diana Purba, SE, ME, menyebut bahwa perlu ada cara baru dalam mengelola SDM agar karyawan dari generasi Y dan Z merasa nyaman dan berkomitmen terhadap organisasinya.

“Pendekatan manajemen sumber daya manusia perlu beradaptasi dengan kebutuhan mereka, seperti melalui penerapan kerja fleksibel atau hibrida,” kata Sylvia di Jakarta, Ahad (26/10).

Menurutnya, sistem kerja fleksibel—terutama kerja hibrida—terbukti bisa meningkatkan kepuasan kerja dan memperkuat komitmen karyawan muda terhadap perusahaan.

Apa itu kerja hibrida?
Sylvia menjelaskan, kerja hibrida adalah model kerja yang menggabungkan kehadiran fisik di kantor (on-site) dengan kerja jarak jauh (remote work), baik dari rumah maupun lokasi lainnya. “Sistem kerja hibrida merupakan bagian dari praktik flexible working arrangements dalam manajemen SDM modern,” ujarnya.

Dengan sistem ini, perusahaan bisa menyesuaikan struktur kerja sesuai kebutuhan bisnis dan preferensi karyawan, sekaligus menjaga keseimbangan antara komitmen dan keterlibatan kerja.

Gen Z paling rendah komitmen, tapi responsif terhadap nilai
Dalam hasil penelitiannya, Sylvia menemukan bahwa Gen Z cenderung memiliki komitmen organisasi paling rendah dibandingkan generasi lain. Namun, mereka bisa sangat terlibat jika nilai pribadi mereka sejalan dengan nilai perusahaan.

Sementara itu, generasi milenial relatif lebih stabil, dengan fokus pada makna kerja, fleksibilitas, dan kesejahteraan. Kondisi ini berbeda jauh dari generasi X dan baby boomers yang dikenal loyal dan punya komitmen tinggi terhadap perusahaan.

“Generasi Y dan Z cenderung menempatkan kepentingan pribadi di atas loyalitas organisasi, sehingga ketika nilai individu tidak sejalan dengan perusahaan, keputusan untuk keluar lebih cepat diambil,” jelas Sylvia.

Kondisi ini, menurutnya, bisa berbahaya bagi keberlangsungan organisasi karena dapat meningkatkan turnover, biaya rekrutmen, hingga menurunkan produktivitas.

Kerja hibrida jadi solusi
Studi yang dilakukan Sylvia menunjukkan bahwa penerapan sistem kerja hibrida punya pengaruh positif yang signifikan terhadap komitmen milenial dan Gen Z. Banyak responden merasa lebih seimbang antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, merasa fleksibel, dan lebih nyaman bekerja.

Faktor lokasi juga berperan penting. Di wilayah metropolitan seperti Jakarta, kemacetan membuat kerja hibrida terasa lebih efisien dan hemat biaya.

Namun, sistem ini tetap punya tantangan. “Kelelahan karyawan sering muncul karena kaburnya batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, ditambah tekanan penggunaan teknologi yang intens dan minimnya dukungan sosial yang bisa memicu rasa isolasi,” ujarnya.

Selain itu, hambatan komunikasi antara pekerja remote dan on-site juga masih menjadi masalah utama, mulai dari ketimpangan informasi, potensi salah paham akibat komunikasi berbasis teks, hingga melemahnya rasa kebersamaan dalam tim.

Tantangan lainnya adalah resistensi terhadap perubahan dan kesenjangan teknologi antar generasi yang membuat sebagian karyawan sulit beradaptasi.

Perlu regulasi dan dukungan pemerintah
Menurut Sylvia, sistem kerja hibrida bukan hanya tren sementara, melainkan strategi jangka panjang untuk menjaga kesejahteraan, komitmen, dan keberlanjutan karyawan lintas generasi. Namun, agar sistem ini berjalan efektif, perlu adanya regulasi yang jelas dari pemerintah.

“Dengan fleksibilitas yang mendukung keseimbangan hidup dan kerja, pendekatan ini mampu meningkatkan komitmen serta menjaga keberlanjutan talenta dalam organisasi,” ujarnya. “Namun, keberhasilannya bergantung pada regulasi yang jelas, komunikasi yang efektif, dan adaptasi teknologi yang inklusif.”

Sylvia sendiri merupakan guru besar bidang sumber daya manusia yang telah mengajar di FEB Unika Atma Jaya sejak 1995. Ia menempuh pendidikan sarjana di Universitas Sumatera Utara, magister di Universitas Indonesia, dan doktor di Universitas Diponegoro. Penelitiannya fokus pada topik SDM modern, termasuk penerapan kecerdasan buatan (AI) dan fenomena FOMO pada generasi Z di Jakarta.

Rektor Unika Atma Jaya, Prof. Dr. dr. Yuda Turana, SpS(K), memberikan apresiasi atas pencapaian Sylvia. “Senantiasa memberikan teladan dan semangat bagi kita semua untuk memajukan Unika Atma Jaya melalui prestasi akademik di tingkat nasional dan global,” ujarnya.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka