Jakarta (KABARIN) - Menjelang akhir Oktober, banyak orang di berbagai negara mulai bersiap untuk pesta Halloween. Perayaan ini dikenal dengan kostum seram, labu berukir, hingga acara trick-or-treat yang meriah. Tahun ini, Halloween jatuh pada Jumat, 31 Oktober 2025.
Namun, di tengah antusiasme itu, muncul pertanyaan di kalangan umat Muslim. Bolehkah sebenarnya seorang Muslim ikut merayakan Halloween?
Asal usul Halloween
Halloween berasal dari tradisi kuno bangsa Celtic bernama Samhain. Dulu, masyarakat Eropa menyalakan api unggun dan memakai kostum aneh untuk mengusir arwah jahat. Seiring waktu, tradisi itu berubah dan berbaur dengan budaya Kristen Barat, hingga akhirnya dikenal sebagai Halloween yang diperingati setiap 31 Oktober.
Sekarang, perayaan ini lebih banyak bersifat hiburan. Orang-orang mengadakan pesta, memakai kostum hantu, dan berburu permen tanpa unsur ritual keagamaan tertentu. Bahkan, beberapa tahun terakhir, perayaan ini mulai muncul di negara yang mayoritas Muslim seperti Arab Saudi.
Pandangan Islam terhadap Halloween
Dalam Islam, ada prinsip penting yang dijadikan dasar dalam menilai boleh tidaknya mengikuti tradisi non-Islam. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Para ulama menafsirkan bahwa menyerupai di sini tidak hanya soal pakaian, tapi juga bisa meliputi perilaku, simbol, dan kebiasaan. Dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud dijelaskan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ: قَالَ الْمُنَاوِيُّ وَالْعَلْقَمِيّ : أَيْ تَزَيَّى فِي ظَاهِره بِزِيِّهِمْ ، وَسَارَ بِسِيرَتِهِمْ وَهَدْيهمْ فِي مَلْبَسهمْ وَبَعْض أَفْعَالهمْ اِنْتَهَى . وَقَالَ الْقَارِي : أَيْ مَنْ شَبَّهَ نَفْسه بِالْكُفَّارِ مَثَلًا مِنْ اللِّبَاس وَغَيْره ، أَوْ بِالْفُسَّاقِ أَوْ الْفُجَّار أَوْ بِأَهْلِ التَّصَوُّف وَالصُّلَحَاء الْأَبْرَار
Artinya: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, menurut al-Munawi dan al-Alaqami, ialah orang yang meniru penampilan dan perilaku mereka. Sedangkan menurut al-Qari, siapa pun yang meniru orang kafir, fasik, atau orang saleh dalam hal pakaian atau perilaku, maka ia dianggap menyerupai mereka.”
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa seorang Muslim sebaiknya berhati-hati saat mengikuti tradisi yang bukan berasal dari ajaran Islam, termasuk Halloween.
Tiga tingkatan hukum meniru tradisi non Islam
Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, para ulama menjelaskan bahwa hukum menyerupai orang kafir bisa berbeda tergantung pada niatnya.
1. Jika seseorang mengikuti tradisi non-Islam dengan niat mengakui atau menyetujui keyakinan mereka, maka itu bisa mengarah pada kekafiran.
2. Jika hanya meniru tanpa niat mengikuti ajaran agama lain, hukumnya berdosa.
3. Jika terjadi tanpa sengaja, maka hukumnya makruh.
Artinya, niat menjadi faktor utama dalam menilai perbuatan tersebut. Walaupun Halloween kini dianggap sekadar hiburan, umat Islam tetap disarankan berhati-hati agar tidak ikut menyebarkan simbol yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Alternatif kesenangan yang lebih bermakna
Islam sendiri punya banyak cara untuk mengekspresikan kebahagiaan, seperti memperingati Maulid Nabi, Isra Mi’raj, atau berbagi dengan sesama. Momen seperti itu tidak hanya membawa keceriaan, tapi juga berpahala dan memperkuat iman.
Dari laman NU Jatim disebutkan bahwa umat Islam sebaiknya tidak ikut serta dalam perayaan seperti Halloween atau Valentine’s Day karena tidak memiliki dasar syariat.
Jadi, meskipun ikut meramaikan Halloween mungkin tampak menyenangkan, penting untuk memahami makna di baliknya. Sebagai Muslim, menjaga identitas dan keyakinan tetap harus menjadi prioritas utama agar tidak terhanyut dalam budaya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.