Menikmati manisnya cokelat Amazon yang jadi ikon Pulau Combu

waktu baca 5 menit

Jakarta (KABARIN) - Siapa sangka di jantung hutan Amazon yang rimbun, tersimpan tempat nyaman untuk menyeruput segelas cokelat dingin, sambil memandangi pepohonan hijau.

Terlebih ditambah canda tawa bersama dengan keluarga atau sahabat, akan semakin membuat hidup lebih terasa berharga untuk dijalani.

Siang itu, suhu di Belém, ibu kota negara bagian Pará, Brasil, berkisar antara 30 hingga 31 derajat Celsius.

Panasnya menusuk, tapi justru itulah waktu yang tepat untuk mulai mengeksplor sisi lain kota ini.

Rombongan memutuskan menyeberang ke Pulau Combu, sebuah pulau kecil di seberang sungai yang terkenal dengan wisata kuliner dan produksi cokelat organiknya.

Untuk menuju ke pulau tersebut, terdapat beberapa dermaga penghubung di Kota Belém, salah satunya berada di Praca Princesa Isabel, tepatnya di Dermaga Rui Barata.

Dengan merogoh kocek 12 BRL, kami naik perahu mesin dengan kapasitas 32 orang.

Sebelum berangkat, awak kapal memperagakan cara penggunaan lifejacket dan meminta para penumpang untuk mengenakannya, hingga sampai ke tujuan.

Pulau Combu letaknya di Sungai Guama, yang merupakan anak Sungai Amazon.

Perjalanan ke Pulau Combu menggunakan kapal, seru. Perahu meluncur cepat, membuat cipratan air mengenai wajah dan rambut.

Tawa riuh penumpang terdengar di antara percikan air, menambah semarak perjalanan singkat yang memakan waktu sekitar 20 menit itu.

Sesampainya di Pulau Combu, perahu akan berhenti di titik-titik wisata dan kuliner di sepanjang pulau tersebut.

Sungai Guamá seakan menjadi jalur kehidupan bagi masyarakat Belém. Di sepanjang tepian, tampak rumah makan, tempat wisata, maupun hotel berbentuk panggung berdiri di antara rerimbunan pohon dan sungai.

Rumah coklat

Perhentian pertama kami adalah Casa do Chocolate (Rumah Cokelat), yang menjadi ikon wisata Pulau Combu.

Begitu menginjakkan kaki di dermaga kecilnya, udara panas seketika mereda di bawah naungan pepohonan lebat yang mengelilingi area tersebut.

UMKM ini mulai beroperasi sejak 10 Juni 1999.

Pengelolanya dikenal sebagai pelopor dalam memproduksi cokelat organik dari kakao Amazon, dengan menggunakan metode berkelanjutan.

Tak sekadar menjual rasa, mereka juga konsisten menjaga tradisi masyarakat tepi sungai yang telah menanam kakao selama bertahun-tahun.

Di Casa do Chocolate, pengunjung bisa melakukan tur coklat dan mencicipi potongan-potongan kecil cokelat yang disajikan dengan berbagai kadar kandungan cokelat.

Semakin tinggi persentase kandungan cokelat, rasanya akan semakin pahit.

"Aduh pahit banget kayak hidup," kata salah satu teman perjalanan, saat mencicipi cokelat dengan kandungan 100 persen cokelat.

Cokelat yang tersedia di Casa do Chocolate mulai dari kandungan cokelat 55 persen, 64 persen, 70 persen, 86 persen, dan 100 persen, yang semuanya tidak memiliki kandungan susu.

Selain cokelat, juga disediakan selai yang bisa dicicipi pengunjung. Ada selai rasa cupuacu dan brigadeiro de colher.

Varian selai cupuacu memiliki rasa yang unik, paduan antara manis dan asam. Cupuacu sendiri merupakan tanaman endemik di wilayah Amazon.

Sementara selai brigadeiro de colher rasanya cokelat manis karena kandungannya yang terdiri dari bubuk cokelat, kental manis, dan mentega/margarin.

Setelah puas mencicipi cokelat dan selai, kami beranjak ke museum mini Casa do Chocolate.

Kemudian menuju ke toko untuk membeli oleh-oleh ataupun sekadar melihat-lihat dan mengabadikan momen.

Di Casa do Chocolate juga ada kafe yang disediakan bagi pengunjung untuk melepas lelah sejenak dengan memesan minuman cokelat.

Minuman cokelat yang ditawarkan di sini juga memiliki kadar cokelat yang berbeda.

Sambil menikmati pemandangan air yang mengalir tenang, kami memesan minuman coklat dingin, dengan kadar 70 persen.

Rasanya enak, cokelatnya terbilang masih pekat, tapi terasa manis.

Hormon dopamin dalam tubuh seakan bersekresi maksimal, usai meminum cokelat Casa de Chocolate ini. Ah, bahagia.

Mencicipi family piranha

Petualangan kuliner kami berlanjut ke Restoran Saldosa Maloca. Untuk mencapai ke restoran tersebut, kami harus menunggu perahu yang lewat.

Sekitar 10 menit di perjalanan air, sampailah di Saldosa Maloca.

Restoran ini berdiri di atas panggung kayu di tepi sungai, dikelilingi pepohonan tinggi.

Di area halaman restoran, terdapat satu patung jaguar, yang biasanya menjadi objek foto bagi pengunjung.

Di Saldosa Maloca, menu makanan yang disajikan beragam, tentunya khas Amazon.

Beberapa menu yang tampak menarik dan akhirnya dipesan adalah Casadinho a saldosa, Moqueca Paraense, dan Tambaqui Na Brasa.

Casadinho a saldosa memadukan udang goreng dengan perkedel yang disajikan bersama saus mayones.

Sementera Moqueca Paraense menghadirkan kombinasi ikan dan udang yang dimasak dengan santan kental, disajikan bersama nasi putih dan farofa.

Farofa sendiri adalah hidangan Brasil yang terbuat dari tepung singkong panggang yang disajikan sebagai pelengkap makanan utama.

Ada satu menu yang paling menarik, yaitu Tambaqui na Brasa, yakni ikan yang dibakar.

Ikan Tambaqui ini merupakan kerabat dekat piranha yang hidup di sungai-sungai Amazon.

Tambaqui Na Brasa rasanya enak, gurih, dagingnya pun empuk.

Menjelang sore, Matahari mulai condong ke barat, memantulkan warna keemasan di permukaan Sungai Guamá.

Perahu kami kembali ke arah kota, membawa kenangan manis dari Pulau Combu.

Belém mungkin kota kecil dengan suhu udara yang panas, tapi ada kehangatan lain yang membuatnya berkesan, ramahnya penduduk, kuliner Amazon, dan cerita sederhana di balik setiap gigitan cokelat.

Pulau Combu mengajarkan satu hal, kebahagiaan bisa sesederhana menyeruput cokelat dingin di tepi anak Sungai Amazon, sambil tertawa bersama orang-orang yang kita sayangi.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka