Saat Cuaca NTB Tak Lagi Punya Pola

waktu baca 5 menit

Ketangguhan daerah tidak diukur dari seberapa cepat pulih setelah bencana, tetapi dari seberapa baik mampu beradaptasi sebelum dampak terjadi

Mataram (KABARIN) - Cuaca di Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam beberapa bulan terakhir bergerak di luar kebiasaan. Hujan datang tiba-tiba setelah pagi cerah, angin menguat di luar musim, gelombang laut meninggi ketika kalender seharusnya tenang.

Rangkaian peristiwa ini bukan anomali sesaat, melainkan sinyal dari dinamika atmosfer yang kian kompleks, dipicu oleh kemunculan beruntun bibit siklon tropis di perairan selatan wilayah ini.

Bagi daerah kepulauan yang bergantung pada cuaca untuk pertanian, perikanan, pariwisata, dan mobilitas, ketidakpastian ini adalah ujian serius bagi ketangguhan sistem pelayanan publik.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan bahwa sejak November hingga akhir Desember 2025, setidaknya tiga bibit siklon tropis terdeteksi mempengaruhi wilayah NTB, yakni 97S, 93S, dan terbaru 96S.

Meski sebagian besar bibit tersebut tidak berkembang menjadi siklon penuh di atas wilayah Indonesia, dampak tidak langsungnya nyata.

Curah hujan meningkat, angin permukaan menguat hingga 35 kilometer per jam, dan gelombang laut di perairan selatan mencapai 1,25 hingga 2,5 meter. Pola cuaca yang biasanya bisa diprediksi harian kini berubah cepat dalam hitungan jam.

Fenomena ini penting ditelaah bukan semata sebagai peristiwa meteorologis, tetapi sebagai persoalan tata kelola risiko. Ketika cuaca kehilangan pola, masyarakat menjadi pihak paling rentan jika negara tidak sigap mengubah cara membaca dan merespons ancaman.

Bibit badai

Kemunculan bibit siklon tropis di selatan NTB terjadi dalam konteks dinamika atmosfer yang saling berkelindan. Aktivitas gelombang Madden-Julian Oscillation, gelombang Kelvin, dan Equatorial Rossby memperkuat pembentukan awan hujan.

Di saat bersamaan, suhu permukaan laut yang hangat dan kelembapan udara yang tinggi menyediakan energi tambahan bagi sistem atmosfer untuk berkembang.

Kombinasi ini menciptakan kondisi labil yang membuat hujan lebat, petir, dan angin kencang muncul secara sporadis di hampir seluruh kabupaten dan kota.

Dampak cuaca tak menentu ini terasa hingga ke level paling dasar. Banjir genangan kembali muncul di kawasan perkotaan, tanah longsor mengintai wilayah perbukitan, dan aktivitas pelayaran rakyat terganggu oleh gelombang tinggi.

Bagi petani, hujan dengan intensitas 5 hingga 10 milimeter per jam yang datang tidak merata menyulitkan penentuan waktu tanam. Bagi nelayan, perubahan arah dan kecepatan angin meningkatkan risiko melaut.

Sementara bagi sektor pariwisata, cuaca ekstrem berulang menurunkan kepastian kunjungan dan keselamatan wisata.

Dalam konteks ini, cuaca ekstrem bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan pola baru yang berulang. Ketika bibit siklon satu demi satu muncul, meski peluang berkembangnya rendah, akumulasi dampaknya tetap besar.

Setiap sistem atmosfer meninggalkan residu risiko yang harus dikelola. Tanpa pendekatan adaptif, daerah akan selalu berada pada posisi reaktif, sibuk menanggulangi dampak, tetapi tertinggal dalam pencegahan.


Risiko

Cuaca yang tak menentu membawa konsekuensi sosial ekonomi yang sering kali luput dari perhatian. Ketidakpastian menjadi biaya tersembunyi yang ditanggung masyarakat.

Nelayan kehilangan hari melaut, petani menanggung risiko gagal panen, dan pelaku usaha kecil harus berhadapan dengan fluktuasi permintaan yang tajam.

Di wilayah pesisir, ancaman banjir rob dan gelombang tinggi mempersempit ruang hidup warga, sementara di daerah aliran sungai, hujan lebat mendadak meningkatkan risiko banjir bandang.

Di sisi lain, sistem pelayanan publik kerap belum sepenuhnya siap menghadapi pola cuaca yang cepat berubah. Drainase perkotaan yang dirancang untuk curah hujan normal mudah kewalahan. Jalur transportasi rawan terganggu oleh pohon tumbang dan genangan.

Informasi peringatan dini memang tersedia, tetapi belum selalu diterjemahkan menjadi tindakan preventif di tingkat komunitas. Kesenjangan antara data cuaca dan respons lapangan inilah yang memperbesar dampak sosial.

Cuaca ekstrem juga menguji koordinasi lintas sektor. Penanganan bencana hidrometeorologi tidak cukup mengandalkan satu institusi. Dibutuhkan keterpaduan antara pengelola lingkungan, infrastruktur, kesehatan, hingga aparat desa.

Tanpa mekanisme koordinasi yang solid, peringatan dini berisiko berhenti sebagai informasi, bukan perlindungan nyata.

Dalam jangka panjang, ketidakpastian cuaca dapat menggerus kepercayaan publik jika negara terlihat selalu terlambat merespons.

Padahal, di era perubahan iklim, kemampuan membaca risiko dan bertindak lebih awal adalah bagian dari kualitas pelayanan publik.

Adaptif

Menjawab tantangan cuaca yang semakin tak menentu membutuhkan pergeseran pendekatan. Kewaspadaan harus ditingkatkan menjadi adaptasi. Artinya, kebijakan tidak hanya bereaksi terhadap cuaca ekstrem, tetapi mengantisipasi kemunculannya sebagai pola baru.

Penguatan sistem peringatan dini perlu dibarengi dengan edukasi publik yang konsisten, agar masyarakat memahami arti setiap level peringatan dan tahu langkah konkret yang harus dilakukan.

Di sektor infrastruktur, perencanaan harus mengakomodasi intensitas hujan yang lebih tinggi dan angin yang lebih kuat. Normalisasi drainase, perlindungan daerah resapan air, dan penataan ruang berbasis risiko menjadi kebutuhan mendesak.

Di wilayah pesisir, adaptasi terhadap gelombang tinggi dan abrasi harus masuk dalam agenda pembangunan, bukan hanya sebagai respons darurat.

Pemerintah daerah juga perlu memperkuat diversifikasi ekonomi agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada sektor yang rentan cuaca. Pertanian adaptif iklim, pengembangan usaha non-cuaca, dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan menjadi bagian dari strategi ketahanan.

Di saat yang sama, pemanfaatan data meteorologi untuk perencanaan harian hingga musiman harus ditingkatkan agar kebijakan berbasis bukti menjadi kebiasaan, bukan pengecualian.

Cuaca yang kehilangan pola sesungguhnya sedang mengirim pesan. Alam menuntut cara baru dalam mengelola risiko. Jika cuaca tak lagi bisa diprediksi dengan cara lama, maka kebijakan pun harus berani berubah.

Ketangguhan daerah tidak diukur dari seberapa cepat pulih setelah bencana, tetapi dari seberapa baik mampu beradaptasi sebelum dampak terjadi.

Di sanalah ujian sesungguhnya bagi pelayanan publik dan kesadaran kolektif menghadapi iklim yang terus berubah.

Sumber: ANTARA

Bagikan

Mungkin Kamu Suka