Mereka mengandalkan meme, video pendek, remix musik, dan caption satir untuk menyampaikan kritik. Cara ini relevan dengan budaya komunikasi instan di era digital
Jakarta (KABARIN) - Fenomena “Stop Tot Tot Wuk Wuk” yang merebak di media sosial dan menjadi aksi nyata dalam bentuk stiker dan gerakan parsial di jalan memperlihatkan wajah baru gerakan sosial digital.
Berangkat dari akumulasi keresahan publik terhadap perilaku tidak etis, gerakan daring ini menggabungkan ekspresi humor, kritik sosial, serta ajakan moral yang sederhana namun kuat.
Dari sisi komunikasi publik, fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat, khususnya generasi muda, menggunakan bahasa populer dan simbol budaya populer untuk mengartikulasikan isu etika sosial. Selain itu, aksi ini menegaskan pergeseran pola gerakan sosial di era digital, dari mobilisasi massa konvensional menuju gerakan berbasis konten viral.
Awalnya, "Stop Tot Tot Wuk Wuk" mungkin dianggap sekadar lelucon atau jargon internal komunitas. Namun, ternyata jargon ini memenuhi syarat sebagai framing isu. Seperti dijelaskan Robert Entman (1993) bahwa sebuah isu akan menjadi perhatian publik jika disederhanakan dalam simbol atau narasi yang mudah dipahami. Kalimat yang repetitif, ritmis, dan jenaka justru mempermudah penyebaran.
Inilah yang membuat gerakan tersebut cepat menular di TikTok, X, dan Instagram. Generasi media sosial tidak memerlukan seminar panjang untuk membahas etika digital. Sebuah kalimat sederhana bisa menggeser diskursus publik, mengingatkan, bahkan mempermalukan perilaku yang dianggap melanggar norma sosial.
Aktivisme Baru
Gerakan sosial digital ini juga dapat dibaca melalui lensa teori spiral keheningan (Noelle-Neumann, 1974). Individu yang tadinya enggan bersuara soal perilaku menyimpang kini mendapat keberanian karena ada ekspresi kolektif yang viral. Mereka merasa berada dalam arus utama opini publik, bukan minoritas yang terisolasi.
Lebih jauh, "Stop Tot Tot Wuk Wuk" memperlihatkan pola baru aktivisme generasi Z. Mereka tidak selalu menempuh jalur formal, demonstrasi fisik, atau forum diskusi akademik. Mereka memilih arena yang mereka kuasai yaitu media sosial. Mereka mengandalkan meme, video pendek, remix musik, dan caption satir untuk menyampaikan kritik. Cara ini relevan dengan budaya komunikasi instan di era digital.
Fenomena serupa juga pernah muncul di luar negeri. Misalnya, gerakan #MeToo yang lahir dari media sosial berhasil membongkar praktik pelecehan seksual di berbagai sektor. Di Thailand, protes mahasiswa terhadap pemerintah juga banyak diekspresikan lewat meme satir yang menggabungkan ikon budaya pop. Hal ini menegaskan bahwa humor, kreativitas, dan bahasa sehari-hari bisa menjadi senjata politik dan sosial yang efektif.
Dari perspektif komunikasi publik, gerakan ini memiliki tiga fungsi penting. Pertama, fungsi edukatif. Ia menyampaikan pesan moral tentang batas etika, baik di dunia nyata maupun digital. Pesan sederhana “Stop Tot Tot Wuk Wuk” bisa menjadi pintu masuk diskusi lebih serius tentang pelecehan verbal, catcalling, atau perilaku yang merendahkan martabat orang lain.
Kedua, fungsi deterrent. Pesan yang viral menciptakan tekanan sosial. Individu yang hendak melakukan perilaku negatif mungkin menahan diri karena takut menjadi bahan olokan publik. Dalam komunikasi massa, efek semacam ini disebut sebagai efek preventif pesan, di mana komunikasi bukan hanya memberi informasi, tetapi juga mempengaruhi perilaku.
Ketiga, fungsi reflektif yang ditunjukkan lewat keresahan kolektif terhadap nilai-nilai yang dianggap terganggu. Dengan demikian, gerakan ini berfungsi sebagai kanal ekspresi warga sekaligus cermin bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk memahami dinamika etika generasi muda.
Namun, tidak berarti gerakan ini bebas dari masalah. Pertama, penyederhanaan pesan bisa mengaburkan substansi. Tidak semua orang yang membaca jargon tersebut memahami konteks kritis di baliknya. Bisa saja pesan hanya dipahami sebagai guyonan, tanpa perubahan perilaku nyata.
Kedua, ada risiko kontra-produktivitas. Orang yang merasa diserang bisa balik menolak atau bahkan melawan dengan konten serupa. Efek polarisasi menjadi mungkin, terutama jika pesan dipolitisasi oleh kelompok tertentu.
Ketiga, ketergantungan pada logika viral membuat gerakan ini berumur pendek. Tanpa strategi komunikasi jangka panjang, gerakan hanya jadi tren sesaat yang hilang bersama munculnya meme baru.
Nasionalisme digital?
Dalam konteks Indonesia, gerakan ini juga bisa dilihat sebagai bentuk nasionalisme digital. Generasi muda menggunakan kreativitas mereka untuk membangun budaya komunikasi yang lebih sehat dan bermartabat. Jika diarahkan dengan benar, gerakan seperti ini dapat memperkuat nilai gotong royong, solidaritas, dan kepedulian sosial dalam ekosistem digital kita.
"Stop Tot Tot Wuk Wuk" adalah contoh nyata bagaimana humor bisa menjadi alat kritik sosial. Dari sisi komunikasi publik, ia mencerminkan transisi dari model top-down ke model partisipatif berbasis komunitas digital. Tantangannya adalah menjaga agar gerakan ini tidak berhenti sebagai tren sesaat, tetapi berkembang menjadi kesadaran kolektif yang lebih dalam.
Apakah mungkin gerakan "Stop Tot Tot Wuk Wuk" bisa direplikasi? Tentu bisa karena punya elemen komunikasi publik yang sederhana, emosional, dan mudah ditiru. Namun, perlu diingat kekuatan gerakan ini ada pada kemampuannya membingkai isu dengan bahasa sehari-hari yang catchy. Bahkan, mengandalkan frasa singkat untuk membangun solidaritas (Castells, 2012).
Replikasi bisa dilakukan pada isu lain seperti literasi digital atau sopan santun berkendara dengan rumus yang sama, bahasa ringkas, relevansi emosional, ekosistem konten kreatif, dan aksi nyata. Tapi, tanpa tindak lanjut konkret, gerakan berisiko berhenti pada hiburan semata.
Karena itu, replikasi gerakan ini efektif bila dihubungkan dengan program nyata, misalnya edukasi anti-hoaks atau kampanye lalu lintas, agar humor digital bisa berkembang menjadi gerakan sosial berkelanjutan.
Dengan menghubungkan kreativitas generasi muda, komunikasi, dan dukungan kelembagaan, gerakan sosial digital semacam ini berpotensi menjadi motor perubahan etika publik. Inilah wajah baru demokrasi komunikasi di era digital yang sederhana, viral, tetapi sarat makna.
*) MT Hidayat adalah Mahasiswa DKIK Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta