84 persen publik setuju Soeharto jadi pahlawan nasional, ini alasannya

waktu baca 2 menit

Masyarakat melihat Soeharto dari sisi keberhasilan pembangunan dan stabilitas nasional. Kontroversi masa lalu tetap diakui. Namun, tidak lagi menjadi faktor dominan dalam pembentukan persepsi publik

Jakarta (KABARIN) - Hasil survei terbaru Intelligence and National Security Studies (INSS) memunculkan kembali perdebatan lama tentang sosok mantan Presiden Soeharto. Sebanyak 84,25 persen responden menyatakan setuju jika Soeharto diberi gelar pahlawan nasional, sementara 8,17 persen menolak dan 7,58 persen ragu-ragu.

Direktur Riset dan Pengembangan INSS, Ahmad Rijal, mengatakan hasil survei ini menunjukkan adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap sejarah bangsa.

“Masyarakat kini melihat Soeharto dari sisi keberhasilan pembangunan dan stabilitas nasional. Kontroversi masa lalu tetap diakui, tapi tidak lagi menjadi faktor dominan,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (9/11).


Pembangunan dan Stabilitas

Menurut hasil survei, alasan utama dukungan terhadap Soeharto datang dari jasa besar di bidang pembangunan ekonomi (50,58 persen) dan peran menjaga stabilitas nasional (33 persen).

Bidang jasa yang paling diingat publik adalah pertanian dan pangan (33,75 persen) — terutama program swasembada beras — disusul ekonomi nasional (31,25 persen) serta stabilitas politik dan keamanan (30,83 persen).

Sementara itu, alasan penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan masih terkait dengan isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebesar 7,42 persen, serta pelanggaran HAM 5,67 persen.


Penilaian objektif

Ahmad Rijal menambahkan, masyarakat kini menunjukkan sikap yang lebih dewasa dalam memandang sejarah.

“Publik tetap kritis terhadap kekurangan di masa lalu, tapi mampu memisahkan antara catatan gelap politik dan jasa pembangunan yang nyata,” katanya.

Sebanyak 61,08 persen responden menilai bahwa kontroversi masa lalu — seperti isu HAM dan KKN — tidak seharusnya menjadi penghalang bagi pemberian gelar pahlawan nasional.

Menariknya, 86,67 persen publik berharap pemerintah menilai kembali jasa Soeharto secara objektif dan bebas dari kepentingan politik.

“Masyarakat tidak ingin glorifikasi, tapi penilaian yang adil dan berimbang,” ujar Ahmad.


Harapan publik

Sebagian besar responden, 56,83 persen, menilai bahwa pihak paling tepat untuk menentukan kelayakan gelar pahlawan adalah kombinasi antara survei publik dan kajian akademik, bukan keputusan sepihak elite politik.

Ahmad Rijal menegaskan, hal ini mencerminkan keinginan publik akan transparansi dan partisipasi dalam proses penetapan gelar kebangsaan.

“Publik ingin pemerintah membuka ruang akademik dan sosial agar keputusan seperti ini tidak bersifat politis,” ujarnya.


Tentang survei INSS

Survei bertajuk “Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto Tahun 2025” ini dilakukan melalui tele-survey terhadap 1.200 responden di 38 provinsi di Indonesia pada 1–8 November 2025.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka