The Verdict: Drama hukum panas soal uang vs kebenaran

waktu baca 6 menit

Jakarta (KABARIN) - Film "Keadilan: The Verdict" adalah sebuah karya sinema drama hukum yang serius dan ambisius.

Film ini menjadi penting karena punya keberanian besar untuk mengangkat isu yang berat, yaitu kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja dan bagaimana sistem hukum yang seharusnya adil dapat disalahgunakan, saat diintervensi oleh kekuatan uang yang dominan.

Aktor Reza Rahadian, salah satu yang membintangi film ini, menyebut jalan ceritanya yang luar biasa merupakan salah satu yang membuat ia tertarik untuk bergabung dalam pembuatan film ini.

Reza juga menilai film dapat menjadi medium berbeda dalam menyuarakan sebuah kritik sosial terhadap sistem hukum di negara kita, sebuah kondisi yang menuntut perhatian penuh dari masyarakat, terutama kalangan mahasiswa.

Film ini, sekaligus menjadi penanda upaya sinema Indonesia untuk meningkatkan kualitas drama ruang sidang, dengan skala produksi yang besar dan standar penceritaan yang setara dengan film internasional.

Inti dari film ini adalah sebuah pertanyaan besar mengenai kerumitan dunia hukum. Tujuannya adalah menyoroti bagaimana sistem hukum, dengan segala aturan dan prosedurnya, dapat diakali dan dimanipulasi oleh pihak yang memiliki keuntungan finansial dan pengaruh politik untuk melindungi pelaku kekerasan dari hukuman yang setimpal.

Ambisi besar ini diwujudkan melalui kerja sama tim produksi film Indonesia dengan tim produksi film dari Korea Selatan.

Dua sutradara Lee Chang-hee (Korea Selatan) dan Yusron Fuadi (Indonesia) memimpin pengarahan film ini dengan dukungan kreatif yang diperkuat oleh tim penulis naskah asal Korea Selatan yang terdiri atas Yoon Hyeon-ho, Oh Ji-young, dan Lee Chang-hee sendiri.

Kolaborasi ini membawa film kepada gabungan kekuatan menegangkan khas film Indonesia, sekaligus menjaga substansi cerita drama yang kompleks dan berbobot khas film dari Negeri Ginseng.

Strategi aktor

Pemilihan aktor di film ini bukan sekadar mengandalkan paras. Para aktor utama dan pendukung harus benar-benar kuat secara akting untuk membawakan cerita serumit dan seberat ini.

Seluruh pemain utama film "Keadilan: The Verdict" dituntut untuk bekerja keras agar cerita tentang aturan hukum yang dingin ini dapat ditonton dengan nyaman dan menarik, sambil tetap mampu menyampaikan bobot moral dan etika dari konflik yang ada.

Titik fokus utamanya dimulai dari pertarungan utama di pengadilan antara Rio Dewanto dan Reza Rahadian. Kedua aktor itu memang punya modal paras yang menarik dan kemampuan akting yang hebat, sangat cocok untuk memerankan sebagai orang dengan perasaan dan logika yang campur aduk.

Cerita film ini juga menuntut kepiawaian mereka menunjukkan emosi yang kuat dan konflik batin yang terus berkelanjutan.

Rio Dewanto harus menampilkan beratnya perjuangan seorang Raka melawan kekuatan orang beruang (berduit) yang memanipulasi hukum dan mengancam keadilan, sebuah perlawanan yang membutuhkan keberanian moral luar biasa.

Di sisi lain, Reza Rahadian harus menunjukkan kecerdasan hukumnya sebagai Timo, yang kemampuannya bisa ia gunakan untuk mencari kemenangan demi klien, atau secara ideal, untuk mencari dan menegakkan kebenaran dalam versinya sendiri.

Kontras moral antara kedua tokoh utama ini adalah mesin penggerak utama dan paling menarik dari seluruh narasi film.

Kehadiran Hakim Hanum Triatmaja (Dian Nitami) sebagai pendukung kunci juga krusial. Sebagai hakim, ia adalah lambang kebenaran dan otoritas tertinggi di ruang sidang.

Aktingnya harus meyakinkan penonton, sehingga bisa menggambarkan bahwa ia benar-benar terperangkap di antara aturan hukum yang kaku, tekanan dari pihak luar, dan suara hati nurani pribadinya.

Perannya adalah jangkar penting yang menahan persidangan agar tidak sepenuhnya jatuh ke dalam kekacauan atau ketidakberdayaan.

Tokoh-tokoh pendukung lainnya, seperti Gilang (Tubagus Ali) sebagai saksi kunci peristiwa kekerasan dan Burhan Yusuf (Dimas Aditya) sebagai jaksa penuntut umum, juga memperlihatkan konflik yang kompleks dari berbagai sudut pandang, menunjukkan bahwa pertarungan hukum ini melibatkan banyak pihak, dengan kepentingan yang berbeda-beda, bukan hanya dua orang di depan hakim.

Masalah sistem

Inti masalah di sini adalah sistem korup dalam dunia peradilan yang ingin diangkat, tidak sekadar menceritakan pertarungan dua individu secara pribadi. Sebaliknya, karakter-karakter utama dan pendukung dipakai sebagai jalan masuk yang efektif untuk melihat bagaimana sistem itu — yang seharusnya menjaga kebenaran — justru bisa diakali dan dimanfaatkan oleh pihak yang kuat secara finansial untuk melindungi pelaku kekerasan dan menghindari konsekuensi hukum.

Film ini membawa pesan kecil, yaitu: "Saat kebenaran dapat dinegosiasikan, maka ruang sidang hanya menjadi panggung sandiwara."

Dengan semua pasal dan aturannya, sistem hukum dipakai secara licik untuk memutarbalikkan fakta dalam kasus kekerasan tersebut.

Ini harus dilakukan secara meyakinkan, bukan hanya mengandalkan twist cerita yang mendadak atau kejutan di menit terakhir.

Fokus pada kerumitan membongkar manipulasi sistem oleh pihak yang kaya ini sangat penting agar pesan kritik sosialnya dapat tersampaikan dengan kuat kepada penonton.

Kalau film berhasil melakukannya, ceritanya menjadi jauh lebih bermakna dan relevan bagi kondisi masyarakat saat ini.

Karakter pendukung, termasuk peran emosional dari Ibu Bimo (Vonny Anggraini) yang mewakili pihak korban, menunjukkan betapa luas dan menyakitkan dampak dari ketidakadilan yang dipicu oleh intervensi uang dalam masyarakat.

Performa Rio Dewanto dan Reza Rahadian dalam cuplikan (trailer) ofisial film ini menunjukkan kedalaman emosional yang konsisten di tengah prosedur pengadilan yang kaku dan dingin.

Namun, detail aturan pengadilan — mulai dari terminologi yang digunakan, tata letak ruang sidang, hingga alur pembuktian — rupanya disajikan secara benar dan meyakinkan agar tidak merusak kredibilitas cerita. Tanpa keakuratan itu, upaya memanipulasi fakta dalam cerita akan terasa dibuat-buat atau tidak masuk akal.

Film menggunakan aturan pengadilan sebagai rintangan yang nyata dan solid bagi Raka, menunjukkan betapa susahnya mencari keadilan melawan orang berkuasa yang memiliki sumber daya hukum tak terbatas.

Keterlibatan Yusron Fuadi sebagai sutradara pendamping harus memastikan sentuhan lokalnya tetap terjaga, memberikan keseimbangan yang pas antara standar teknis perfilman Korea Selatan yang cepat dan realitas hukum di Indonesia.

Penilaian akhir

Film ini skala produksinya besar, bukan hanya dari biaya yang fantastis, tetapi juga dari ambisi teknisnya yang tinggi.

Kekuatan ini juga didorong oleh dukungan teknis dan kreatif dari Korea Selatan, termasuk sutradara dan penulis naskah, yang secara jelas menunjukkan bahwa isu keadilan melawan intervensi uang — sebuah isu yang sangat penting dan relevan bagi masyarakat Indonesia — layak diangkat dengan kualitas sinema terbaik.

Ini adalah proyek penting yang berpotensi menaikkan standar dan ekspektasi penonton terhadap film drama hukum di Indonesia, mendorong produser lain untuk berani mengambil risiko yang sama.

Penilaian akhir terhadap film "Keadilan: The Verdict" akan berpusat pada seberapa baik semua bagian film ini bekerja sama dalam menyampaikan pesan.

Jika penonton berhasil diyakinkan oleh akting yang kuat, dan tidak terganggu oleh detail prosedur hukum yang ditampilkan, film ini sanggup memperlihatkan kerumitan penegakan hukum tanpa menyederhanakannya.

Sehingga penonton mendapat pelajaran yang sangat baik dan patokan baru dalam menilai standar perfilman Indonesia.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka