Sejarah Voodoo: Ritual khas Afrika yang sering disalahpahami

waktu baca 4 menit

Jakarta (KABARIN) - Pelatih timnas Nigeria, Eric Chelle, menuding Republik Demokratik Kongo menggunakan praktik Voodoo setelah timnya gagal merebut tiket Piala Dunia 2026 akibat kalah lewat adu penalti pada laga final play-off zona Afrika.

Tudingan pelatih timnas tersebut, terhadap Republik Demokratik Kongo yang disebut-sebut menggunakan praktik Voodoo kembali mengangkat rasa penasaran publik tentang apa sebenarnya ritual Voodoo itu.

Meski sering dihubungkan dengan dunia mistis dan mantra-mantra dalam berbagai pemberitaan olahraga atau budaya pop, Voodoo sejati-nya memiliki sejarah panjang dan akar tradisi yang jauh lebih kompleks.

Lantas dari mana ritual ini berasal? Dan bagaimana sejarahnya? Simak ulasan berikut ini berdasarkan informasi yang telah dihimpun dari berbagai sumber.

Asal usul dan latar belakang ritual Voodoo

Voodoo atau Vodou dalam penyebutan yang lebih tepat merupakan sistem kepercayaan tradisional yang paling dikenal berasal dari Haiti. Ajaran ini berkembang pada abad ke-16, saat wilayah tersebut masih bernama Hispaniola.

Pada masa itu, ribuan orang Afrika Barat dibawa sebagai budak untuk bekerja di perkebunan tebu dan kopi, dan bersama mereka ikut terbawa pula tradisi, keyakinan, serta praktik spiritual yang kemudian berakulturasi menjadi Vodou Haiti.

Dalam kajian akademis, istilah Vodou Haiti digunakan untuk membedakan-nya dari praktik kepercayaan serupa di Louisiana atau tradisi Vodun yang berkembang di Afrika Barat, yang menjadi cikal bakal banyak unsur dalam Voodoo masa kini.

Kepercayaan tersebut lahir dari perpaduan berbagai tradisi, yakni keyakinan Afrika, pengaruh agama Kristen yang dianut sebagian budak, unsur budaya penduduk asli Karibia, serta praktik religius para pemilik budak asal Prancis.

Para budak yang diperlakukan layaknya objek dagangan tidak menerima perlakuan tersebut begitu saja. Keyakinan spiritual yang mereka bawa menjadi salah satu bentuk perlawanan batin terhadap penindasan.

Semangat untuk mempertahankan martabat sebagai manusia inilah yang kemudian menjadikan Voodoo turut berperan dalam meletusnya Revolusi Haiti, salah satu pemberontakan budak paling bersejarah di dunia.

Perjalanan sejarah Voodoo

Walaupun sulit melacak titik asal yang benar-benar pasti, sebagian besar peneliti sepakat bahwa akar Voodoo berasal dari Afrika Barat, berawal dari tradisi pemujaan leluhur serta kepercayaan animisme. Seiring perjalanan waktu, praktik tersebut berkembang dan berpadu dengan budaya setempat di mana pun para penganutnya bermukim.

Pada tahun 1685, sebuah peraturan kolonial melarang segala bentuk ritual Afrika dan mewajibkan budak yang tiba di Haiti untuk masuk Katolik dalam delapan hari. Namun aturan ini tidak serta-merta menghapus kepercayaan lama. Para budak tetap mempertahankan tradisi spiritual mereka sambil menyatukannya dengan unsur-unsur Katolik, sehingga melahirkan bentuk Voodoo seperti yang dikenal sekarang.

Perkembangannya kemudian meluas ke berbagai wilayah Afrika, Karibia, hingga Amerika Utara dan Selatan. Di beberapa negara, seperti Benin dan Haiti, Voodoo bahkan diakui sebagai agama resmi. Meski demikian, gambaran mengenai Voodoo masih sering disalahpahami karena banyaknya penggambaran keliru dalam film dan media populer.

Daripada mengaitkannya dengan boneka tusuk atau kisah horor tentang zombie, Voodoo lebih tepat dipahami sebagai cara hidup seperangkat nilai, ritual, dan filosofi yang dihormati oleh para penganutnya selama berabad-abad.

Tujuan ritual Voodoo

Penganut Voodoo biasanya berhubungan dengan para Lwa roh dalam kepercayaan Voodoo melalui serangkaian ritual yang dipusatkan pada satu Lwa tertentu.

Setiap upacara memiliki tujuan khusus, misalnya dalam tradisi sevi Lwa atau “melayani roh”, yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan. Contohnya, para nelayan di Haiti kerap meminta perlindungan dan keberkahan hasil laut melalui ritual untuk Agwé, Lwa yang berhubungan dengan laut dan perjalanan bahari.

Warna yang dianggap disukai Agwé adalah biru dan putih, sehingga para pelaku ritual biasanya mengenakan pakaian berwarna biru sebagai bentuk penghormatan. Persembahan yang diberikan pun berkaitan dengan dunia maritim, seperti kerang, peralatan navigasi, dayung, dan benda-benda lain yang berhubungan dengan pelayaran.

Hidangan hangat, sampanye, hingga rum angkatan laut juga kerap disertakan sebagai persembahan. Dalam keyakinan mereka, Lwa kemudian akan membalas penghormatan tersebut dengan perlindungan atau keberuntungan.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka