Bondowoso (KABARIN) - Tanda pagar atau tagar #Boikot Trans7 kini mengemuka setelah stasiun televisi swasta itu menyajikan tayangan yang diduga mengandung unsur pelecehan terhadap kiai dan pesantren.
Kasus #Boikot Trans7 ini membawa ingatan pada tradisi-tradisi di pesantren yang jika dilihat dari sisi luar pesantren tampak ganjil, bahkan aneh.
Sebelum kembali ke tagar #Boikot Trans7, mari kita cermati peristiwa di salah satu pesantren yang hampir bisa dipastikan sudah menjadi budaya biasa di semua pesantren, khususnya yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU).
Suatu siang, ketika kiai di pondok pesantren selesai mengisi pengajian, para santri berebut sisa air minuman sang kiai. Bagi masyarakat umum yang tidak mengenal budaya ini, tentu peristiwa rebutan sisa air minum itu akan dilihat sebagai sesuatu hal yang aneh.
Cendekiawan Muslim sekaligus ulama dan tokoh bangsa yang sangat disegani KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebut pesantren merupakan subkultur. Tidak dijelaskan pesantren itu menjadi subkultur dari kultur yang mana. Kita bisa menafsirkan bahwa ia adalah bagian dari kultur modern, di mana pesantren masih sangat kuat memegang budaya tradisional. Atau bisa jadi pesantren merupakan bagian dari kultur masyarakat secara umum.
Kasus yang kemudian menggiring munculnya #Boikot Trans7 ini memberi pelajaran bahwa kita, khususnya media, harus memahami budaya kelompok tertentu, termasuk pesantren yang tidak semuanya sama dengan budaya di masyarakat umum.
Terkait berebut sisa air minum kiai di atas, bagi masyarakat yang lahir dan besar di luar pesantren akan melihatnya dari sisi higienitas atau aspek rasa, seperti jijik atau jorok dan lainnya.
Tayangan yang memunculkan #Boikot Trans7 rupanya menyinggung tradisi pesantren, ketika santri dan keluarganya menjunjung tinggi kekhidmatan kepada kiai. Stasiun itu menyinggung budaya masyarakat, khususnya santri yang menemui atau sowan ke kiai dengan memberikan uang.
Jika dilihat sekilas, budaya itu memang aneh, karena yang memberikan uang, secara strata ekonomi berada di bawah sang kiai. Sejatinya, di balik sowan ke kiai itu ada sambungan energi jiwa yang tidak bisa dipahami hanya dengan logika linier yang terbatas.
Dalam tradisi sowan, masyarakat atau santri sedang menyambung energi batin dengan sang guru yang mereka yakini akan membawa berkah bagi kehidupan diri dan keluarganya.
Apakah dengan motif mengharap berkah itu kemudian si santri dapat dihukumi sebagai orang kolot? Tunggu dulu. Orang modern, bahkan di dunia psikologi kini diakui bahwa kenyataan hidup setiap orang banyak dipandu atau diwarnai oleh pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar itu, dalam ranah spiritual dan religius dibahasakan sebagai keyakinan. Para santri dan keluarganya yakin bahwa dengan menyampaikan sebagian hartanya untuk guru, maka kehidupannya, termasuk ekonomi keluarganya, akan berlimpah dan semakin berkah.
Karena itu, fenomena masyarakat dan santri memberikan sebagian hartanya untuk kiai jangan dimaknai matematis, hartanya berkurang. Sebaliknya, dengan memberikan uang kepada kiai, mereka semakin membuka kran rezekinya, .
Di pelatihan-pelatihan motivasi yang kini digandrungi masyarakat modern dan diampu oleh mentor atau motivator berpendidikan modern, bahkan hingga bergelar doktor, disebutkan bahwa "memberi" sesuatu pada orang lain juga menjadi bagian dari materi yang wajib dipraktikkan.
Dasar logikanya adalah bahwa keberlimpahan harta sejatinya ada dan bersumber di dalam diri. Orang yang suka memberi, memiliki jiwa berkelimpahan yang hartanya tidak akan berkurang jika dibagikan kepada pihak lain.
Sebaliknya, mereka yang pelit untuk berbagi, di pikiran bawah sadarnya alias keyakinannya tertanam bahwa rezeki itu terbatas. Dengan paradigma kekurangan seperti ini, maka orang itu akan terus hidup dalam kekurangan.
Karena itu, insan media harus banyak belajar menyajikan berita terkait budaya tertentu, termasuk di lingkungan pesantren yang di dalamnya ada kiai dan santri.
Ada pemilihan untuk memakai kata "selingkung" oleh media dengan memakai diksi tertentu, yang berbeda dengan yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Itu tidak lain juga dalam rangka menghormati atau memahami psikis kelompok tertentu. Kata Ramadhan dipilih oleh media tertentu, meskipun di KBBI termaktub Ramadan, salat ditulis shalat dan lainnya.
Demikian juga ketika media menyajikan berita tentang pesantren atau ulama. Media tertentu memilih berkompromi dengan mencantumkan "kiai" di depan nama narasumber atau sosok yang diberitakan. Padahal dalam jurnalistik tidak dikenal pembagian strata dan gelar nonformal itu.
Diperlukan kepekaan untuk menampilkan berita tentang budaya tertentu agar tidak sampai menimbulkan ketersinggungan. Hal ini juga menjadi pengingat bagi siapapun di negeri ini untuk menghormati sekecil apapun kontribusi yang telah diberikan oleh kelompok tertentu pada tetap berjalannya negeri ini menuju masa depan.
Pesantren, dengan aktor utamanya kiai dan santri adalah kelompok yang investasinya sangat besar bagi berdiri dan terus tegaknnya republik ini.
Pesantren, pada masa penjajahan adalah basis perjuangan. Selain menularkan ilmu agama, kiai di pesantren juga menjadi pemimpin perjuangan fisik melawan penjajah.
Di era modern, pesantren juga terus melanjutkan kontribusinya untuk mendidik generasi muda bangsa memiliki ilmu yang lengkap, agama dan umum. Pesantren juga membuktikan diri sebagai pemasok stok pemimpin untuk mengelola negeri ini, termasuk kalangan intelektual.
Baca juga: KPI akan tindak tegas tayangan Trans7 soal pesantren
Baca juga: Komisi VI DPR semprot Trans7 soal tayangan yang lecehkan Kiai Lirboyo