Ahli sebut Gen Z dan Alpha rentan dari risiko "self-diagnosis" pakai AI

waktu baca 2 menit

Jakarta (KABARIN) - Psikiater dr. Kristiana Siste dari FKUI-RSCM memperingatkan generasi Z dan Alpha lebih rentan terhadap risiko self-diagnosis menggunakan AI.

Dalam Dialog Multistakeholder Towards a Smart Governance di Jakarta, Rabu, dr. Siste mengatakan AI tidak selalu tepat membaca gejala kesehatan mental, namun banyak remaja kini mengandalkan chatbot untuk menilai kepribadian hingga dugaan depresi.

Beberapa pasien bahkan menjadikan AI sebagai tempat curhat saat merasa kesepian karena minimnya komunikasi di keluarga. Menurut dr. Siste, ini membuat anak muda lebih nyaman berbagi keluhan dengan chatbot dibanding orang terdekat.

Meski AI bisa membantu sebagai skrining awal, misalnya untuk kecanduan internet, game, atau judi online, hasilnya kerap keliru atau berlebihan sehingga tidak boleh dijadikan dasar diagnosis.

Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah pengguna yang membagikan “diagnosis” AI di media sosial lalu melakukan self-treatment tanpa konsultasi dokter. Dr. Siste menekankan tindakan ini berbahaya dan bisa memperburuk kondisi kesehatan mental.

Ketergantungan berlebihan pada AI juga membuat anak muda menarik diri dari lingkungan sosial karena merasa lebih dimengerti oleh chatbot. Ia menekankan AI sebaiknya dijadikan alat pendukung, bukan pengganti profesional, dan orang tua harus mendampingi agar teknologi tidak menggeser komunikasi di rumah.

“AI bagus jika digunakan bersama-sama oleh keluarga. Orang tua harus mengerti dulu lalu mengajak anaknya berinteraksi bersama,” kata dr. Siste.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menambahkan teknologi AI tidak bisa dijadikan alat diagnosis mandiri.

“Medical is combination between science and art. Jadi keputusan di bidang kedokteran itu tidak bisa diambil dari hanya satu sumber informasi saja,” ujarnya.

Kemenkes misalnya sudah mencoba AI lewat portable x-ray untuk mendeteksi TBC, termasuk pada orang tanpa gejala tapi punya kontak erat, sehingga kasus tersembunyi bisa diketahui lebih cepat.

Meski begitu, Dante menegaskan hasil analisis AI tidak boleh langsung dijadikan dasar pengobatan tanpa pengawasan tenaga medis.

“Tidak semua informasi AI bisa diimplementasikan secara langsung oleh pasien. Ini harus ada regulasinya,” tegasnya.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka