Mengenal sejarah dan silsilah keluarga Raja Keraton Solo

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ramai dibicarakan setelah wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada Minggu, 2 November 2025. Raja yang dikenal menjaga adat dan budaya Jawa ini menutup satu bab penting dalam sejarah kerajaan yang berdiri lebih dari dua setengah abad.

Keraton Solo sendiri berakar dari sejarah Kerajaan Mataram Islam, Kasunanan Surakarta lahir dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang mengakhiri konflik antara Pangeran Prabasuyasa atau Susuhunan Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I, dan Raden Mas Said.

Perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak saat itu, Surakarta berkembang menjadi pusat budaya Jawa dengan raja-rajanya bergelar Pakubuwono sebagai simbol tradisi dan adat.

Awal dinasti Pakubuwono

Dinasti Pakubuwono dimulai dari Sunan Pakubuwono I atau Pangeran Puger, anak Amangkurat I dan cucu Sultan Agung, yang memimpin di Keraton Kartasura sebelum terbentuknya Keraton Surakarta.

Awalnya ia bergelar Amangkurat, namun kemudian menambahkan gelar yang kini digunakan keturunannya, yaitu Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau disingkat Pakubuwono.

Pakubuwono II atau Raden Mas Prabasuyasa memimpin dari 1745 hingga 1749, dan dikenal memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala karena keraton lama rusak akibat pemberontakan. Langkah ini menandai berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat, dan takhta dilanjutkan oleh putranya, Pakubuwono III, yang memerintah 1749–1788, Raden Mas Suryadi.

Konflik dan Perjanjian Giyanti

Masa Pakubuwono III diwarnai konflik perebutan kekuasaan sejak ayahnya, pada 1746 pamannya, Pangeran Mangkubumi, memimpin pemberontakan, hingga akhirnya terjadi Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah menjadi dua.

Mangkubumi bergelar Sultan Hamengkubuwono I memimpin Yogyakarta, sedangkan Pakubuwono III tetap berkuasa di Surakarta. Pangeran Sambernyawa mendapat wilayah sendiri bernama Kadipaten Mangkunegaran melalui Perjanjian Salatiga pada 1757.

Keraton di masa kolonial

Masa Pakubuwono IV 1788–1820, Raden Mas Subadya, ditandai dengan penolakan terhadap dominasi Belanda. Ia dikenal religius dan tegas, dijuluki Sunan Bagus karena ketampanannya, namun karena tekanan VOC ia harus menyerahkan penasihat rohaninya dan berdamai.

Selanjutnya Pakubuwono V 1820–1823, Raden Mas Sugandi, memerintah singkat dan dijuluki Sunan Ngabehi atau Sunan Sugih karena kaya dan kesaktian. Kemudian Pakubuwono VI 1823–1830, Raden Mas Sapardan, dikenal mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, namun setelah Diponegoro ditangkap ia diasingkan ke Ambon hingga wafat 1849.

Pakubuwono VII 1830–1858, Raden Mas Malikis Solihin, membawa masa kejayaan sastra karena tidak ada pemberontakan besar. Disusul Pakubuwono VIII 1858–1861, Gusti Raden Mas Kuseini, raja pertama yang tidak berpoligami.

Pakubuwono IX 1861–1893, Gusti Raden Mas Duksina, menandai kemajuan fisik keraton dan pembangunan kota. Diikuti Pakubuwono X 1893–1939, Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Husna, yang mendukung pergerakan nasional dan membangun infrastruktur kota. Masa keemasan Keraton Solo terjadi pada era ini.

Masa peralihan ke Republik

Pakubuwono XI 1939–1945, Raden Mas Ontoseno, memimpin di masa pendudukan Jepang dengan kondisi ekonomi sulit. Dilanjutkan Pakubuwono XII 1945–2004, Raden Mas Suryo Guritno, menjadi raja terlama, mendukung Republik Indonesia melalui dekret 1 September 1945. Surakarta sempat berstatus Daerah Istimewa, namun dihapus 1946 karena situasi politik tidak stabil.

Sepeninggal Pakubuwono XII tanpa permaisuri jelas, gelar raja selanjutnya sempat diperebutkan oleh dua putra dari ibu berbeda. Setelah delapan tahun proses panjang, keluarga besar keraton menetapkan Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi atau Raden Mas Suryo Partono sebagai Pakubuwono XIII.

Ia aktif menghadiri upacara adat, memperkuat peran keraton sebagai penjaga budaya, dan menetapkan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota pada 2022. Setelah wafat awal November 2025, ia dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, Yogyakarta.

Warisan Dinasti Pakubuwono

Dinasti Pakubuwono telah melewati masa kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Keberadaannya bukan hanya simbol kebangsawanan, tapi juga warisan hidup kebudayaan Jawa yang terus dijaga hingga sekarang.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka