Mengajarkan anak untuk minta maaf tanpa dipaksa, begini caranya

waktu baca 4 menit

Jakarta (KABARIN) - Mengajarkan anak untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah keterampilan sosial dan emosional yang penting sejak dini.

Selain untuk memperbaiki hubungan, kemampuan ini dapat membentuk rasa empati, tanggung jawab, dan kejujuran pada anak.

Hal tersebut adalah modal penting agar anak dapat berinteraksi sehat di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Para ahli menekankan bahwa proses pembelajaran ini bukan sekadar melatih kata “maaf”, melainkan membangun pemahaman emosional tentang dampak tindakan terhadap orang lain.

Mengapa meminta maaf harus diajarkan, bukan dipaksakan?

Orang tua kerap mendorong atau memerintahkan anak untuk meminta maaf tanpa memastikan anak memahami alasannya.

Meminta maaf yang dipaksa, hanya akan menjadi formalitas verbal dan tidak mengubah perilaku atau rasa empati pada anak.

Sebaliknya, pendekatan yang mengajarkan konteks, seperti penjelasan mengapa tindakan itu menyakiti orang lain dan menjadi sebuah kesalahan, lebih efektif membentuk pengertian dan perilaku baik pada anak karena mereka memahami alasan di balik kesalahannya.

Budaya meminta maaf perlu ditanamkan sejak dini, dengan melalui contoh dan dialog dari orang dewasa, bukan hukuman secara verbal atau fisik yang kasar.

Lingkungan yang aman dan tidak menghukum secara berlebihan, dapat membuat anak lebih berani mengakui kesalahan daripada menutupinya.

Cara praktis untuk orang tua dan guru

Merangkum dari berbagai sumber, berikut rangkaian cara mendidik anak untuk berani akui kesalahan dan minta maaf tulus, yang dapat dipraktikkan di rumah atau sekolah.

1. Jadilah contoh (modeling)

Anak kerap meniru perilaku orang dewasa, seperti saat orang tua atau guru dengan tulus meminta maaf pada anak.

Misalnya setelah kehilangan kesabaran, anak belajar bahwa mengakui kesalahan bukan tanda kelemahan, namun merupakan tanggung jawab.

Contoh ini juga menunjukkan bentuk permintaan maaf yang tepat, yakni akui tindakan, nyatakan penyesalan meminta maaf, dan memperbaiki perilaku diri jadi lebih baik.

2. Jelaskan dampak tindakan, bukan hanya kata-kata

Ajak anak melihat dari sudut pandang orang yang dirugikan, seperti “Bagaimana rasanya kalau mainan kamu diambil orang lain?”.

Dengan membayangkan perasaan orang lain, hal tersebut dapat membangun rasa empati anak dan meminta maaf dengan tulus.

3. Ajarkan susunan permintaan maaf yang baik

Susunan permintaan maaf yang dimaksud yakni pengakuan tindakan (“Aku menendang mainan kamu”), ungkapan penyesalan (“Maaf ya, aku membuat kamu sedih”), dan usaha memperbaiki (“Bolehkah aku bantu memperbaikinya?”).

Dengan susunan permintaan maaf seperti ini, anak akan belajar bahwa meminta maaf melibatkan tanggung jawab dan perbaikan, bukan hanya ucapan saja.

4. Hindari memaksakan kata "maaf"

Dengan memaksa anak, hanya akan menghasilkan permintaan maaf yang tidak tulus.

Anak dapat dibimbing dengan pertanyaan “Apa yang terjadi tadi?", "Kalau seperti itu, menurutmu bagaimana perasaan temanmu?”.

Orangtua atau guru perlu menunjukkan sikap simpati, lalu menjelaskan masalah tersebut dan memberikan solusi.

Anak pun dapat memahami dengan baik, hingga akhirnya mereka memperbaiki kesalahannya dengan tulus.

5. Berikan pujian karena berani mengakui salah

Ketika anak berani mengakui kesalahan, berikan apresiasi, seperti “Terima kasih sudah jujur, itu hal yang berani dan bagus untuk diakui.”.

Ungkapan positif ini dapat memperkuat perilaku jujur dan mengurangi rasa takut akan konsekuensi yang diterima anak.

6. Latih tanggung jawab lewat konsekuensi yang membangun

Alihkan hukuman menjadi kesempatan memperbaiki diri bagi anak, misalnya membantu merapikan atau mengganti barang yang rusak.

Konsekuensi yang proporsional mengajarkan hubungan sebab-akibat tanpa meruntuhkan rasa aman anak terhadap orangtua dan lingkungan sekitarnya.

Perubahan perilaku tentunya membutuhkan waktu. Orangtua mesti tetap sabar, konsisten, dan menjadikan momen kesalahan sebagai kesempatan belajar bagi anak, bukan hanya memberi hukuman.

Mengajarkan anak akui kesalahan dan meminta maaf adalah proses pendidikan karakter yang memerlukan contoh, komunikasi, dan praktik berulang kali dari orang dewasa.

Lewat pendekatan yang halus dan bersimpati, anak tidak hanya akan mengatakan “maaf”, tetapi juga memahami makna kesalahannya yang tak boleh diulangi.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka