Jakarta (KABARIN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa uang yang disita dari pemilik biro perjalanan haji PT Zahra Oto Mandiri, Khalid Zeed Abdullah Basalamah, bukan termasuk suap. Penegasan ini penting untuk meluruskan berbagai kabar yang beredar terkait kasus tersebut.
Uang yang disita tersebut merupakan bukti adanya dugaan praktik pemerasan terkait kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag) pada 2023–2024. Kasus ini tengah menjadi fokus penyelidikan KPK untuk menelusuri alur dan pihak-pihak yang terlibat.
“Jadi sebenarnya ini bukan suap, karena inisiatifnya datang dari oknum Kemenag. Mereka bilang, ‘Kalau mau berangkat tahun ini, bayar dulu uang percepatannya.’ Itu namanya pemerasan,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/9) malam.
Asep menjelaskan, uang yang disita KPK dijadikan bukti kuat adanya jual beli kuota haji khusus. “Penyidik menyita uang dari ustaz Khalid sebagai bukti bahwa ada uang yang diminta oknum Kemenag. Jadi jelas, pembagian kuota ini tidak berjalan begitu saja,” tambahnya.
Sebelumnya, Khalid Basalamah, yang juga Ketua Majelis Utama Travel Indonesia Arahan Haji dan Umrah (Mutiara Haji), mengaku telah mengembalikan uang terkait kuota haji melalui kanal YouTube Kasisolusi pada 13 September 2025.
Uang ini berasal dari 122 jemaah haji Uhud Tour, dibayarkan ke Komisaris PT Muhibbah Mulia Wisata, Ibnu Mas’ud, masing-masing sebesar 4.500 dolar AS. Selain itu, 37 jemaah diwajibkan membayar tambahan 1.000 dolar AS, kalau tidak, visa mereka tidak akan diproses. Untungnya, semua uang itu dikembalikan setelah ibadah haji selesai.
Kasus ini mulai disidik KPK pada 9 Agustus 2025, setelah meminta keterangan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. KPK juga bekerjasama dengan BPK RI untuk menghitung potensi kerugian negara, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Selain itu, Pansus Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam pembagian kuota haji 2024. Dari tambahan 20.000 kuota haji yang diberikan Arab Saudi, pemerintah membagi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, padahal UU Haji hanya mengatur 8 persen untuk haji khusus dan 92 persen untuk reguler.
Kasus ini jadi sorotan karena menyoroti praktik pemerasan kuota haji, bukan suap. KPK pun kini memegang bukti yang bisa mengungkap jalannya pembagian kuota haji secara tidak adil.