Agroforestri: Tameng hijau yang bisa selamatkan Indonesia dari banjir

waktu baca 6 menit

Sinergi ini memastikan lingkungan tetap terlindungi, tanpa mengorbankan kesejahteraan petani, menjadikan agroforestri sebagai pilar penting pembangunan berkelanjutan

Jakarta (KABARIN) - Musim hujan akhir 2025 membawa bencana besar di Sumatra. Banjir bandang dan longsor merenggut lebih dari 900 nyawa serta memaksa 1,2 juta orang mengungsi.

Meski meteorolog menyebut interaksi siklon tropis langka sebagai pemicunya, para pakar lingkungan menegaskan bahwa kerusakan akibat ulah manusia jauh lebih menentukan. Deforestasi masif, perizinan penebangan dan penambangan yang longgar, serta alih fungsi lahan yang tak terkendali telah merobohkan "infrastruktur hijau" yang sejatinya melindungi Indonesia dari bencana hidrometeorologi.

Tanpa tutupan vegetasi yang kuat, air hujan mengalir deras di permukaan, mempercepat erosi dan memicu banjir besar. Peringatan Walhi Jawa Barat tentang pembabatan kebun teh di Pangalengan untuk tanaman semusim menjadi bukti tragis bahwa hilangnya vegetasi permanen memperburuk limpasan, memperlemah daya serap tanah, dan membuka jalan bagi banjir bandang.

Peristiwa di Sumatra mengingatkan bahwa kunci pencegahan bencana terletak di hulu, pada akar tanaman dan sistem lahan yang dikelola selaras dengan kaidah ekologis.

Berbagai pendekatan konservasi, seperti pola tanam aren, kopi bernaungan, terasering teh, hingga budi daya serai wangi di lereng bukit telah terbukti efektif mengurangi erosi, menahan limpasan air, serta menstabilkan struktur tanah.

Agroforestri, bahkan memberikan manfaat berlapis, menyejukkan iklim lokal, menyerap karbon, dan menyediakan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi jutaan petani. Jika paradigma pengelolaan lahan bergeser ke arah sistem berbasis pohon dan vegetasi permanen, potensi bencana dapat ditekan sejak dari akar persoalan.

Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan kerangka kebijakan yang mendukung, seperti skema Perhutanan Sosial dan program pemulihan daerah aliran sungai (DAS). Tantangannya, kini terletak pada kolaborasi, bagaimana masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia usaha dapat bahu-membahu merawat kembali "jaring pengaman hijau" di hulu sungai.

Ketika hutan rakyat, agroforestri, dan vegetasi konservasi tumbuh kembali, Indonesia bisa menghadapi cuaca ekstrem dengan lebih tangguh, sembari memperkuat ekonomi rakyat berbasis alam.

Tanaman konservatif

Ada sebuah sistem konservatif dan pencegah banjir, serta dapat dterapkan, yaitu agroforestri. Sistem ini merupakan model pertanian terpadu yang memadukan tanaman kehutanan, Perkebunan, seperti aren, kopi, kakao, dan rempah, berada dalam satu lanskap yang saling menguatkan.

Dalam pendekatan ini, tanaman perkebunan tidak hanya menghasilkan komoditas bernilai ekonomi, tetapi juga berperan sebagai "benteng hidup" yang menjaga lereng tetap stabil. Pohon aren (Arenga pinnata) adalah contoh nyata, akar serabutnya yang menyebar luas dan tajuknya yang lebat mampu meredam curah hujan, mengikat tanah, serta menyerap limpasan air sebelum mengalir deras ke bawah. Pada lereng yang telah ditanami aren, tanah tertutup vegetasi kuat, sehingga menunjukkan bagaimana pohon ini bekerja sebagai pelindung alami dari erosi dan longsor.

Selain aren, berbagai tanaman perkebunan lain juga terbukti efektif memperkuat struktur tanah dan mencegah degradasi lingkungan. Serai wangi (Cymbopogon nardus) tumbuh rapat dan berakar kokoh, sehingga cocok untuk memulihkan lahan kritis, menahan sedimen, sekaligus menghasilkan minyak atsiri berorientasi ekspor.

Sistem agroforestri kopi Arabika tak kalah penting. Akar kopi dapat menembus lebih dari tiga meter ke dalam tanah, sementara pohon peneduh di atasnya memecah intensitas hujan dan meningkatkan penyerapan air.

Kebun teh di pegunungan yang ditata dengan sistem terasering juga berfungsi sebagai sabuk hijau penahan longsor. Akar teh yang rapat dan struktur terasering menjaga kestabilan tanah hulu sungai serta mengatur aliran air secara alami.

Keberadaan tanaman konservatif ini membuktikan bahwa perkebunan tidak selalu identik dengan deforestasi. Dengan desain agroforestri yang tepat, lahan perkebunan dapat berfungsi sebagai “"infrastruktur hijau" yang menjaga stabilitas tanah, memperlambat aliran permukaan, dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah.

Pendekatan ini bukan hanya mengurangi risiko bencana alam, seperti longsor dan banjir, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi melalui produksi rempah, kopi, dan teh. Penerapan agroforestri di lereng curam menjadi strategi yang menggabungkan konservasi lingkungan, ketahanan ekosistem hulu, serta peningkatan kesejahteraan petani dalam satu sistem yang saling menguatkan.

Lebih jauh lagi, agroforestri perkebunan merupakan nature-based solution yang relevan menghadapi krisis iklim. Vegetasi berlapis, berupa pohon besar, semak, dan tanaman bawah-naungan, memperbaiki siklus air, memperkaya kesuburan tanah, menstabilkan iklim mikro, dan menjaga keanekaragaman hayati.

Pohon-pohon dalam sistem ini menyimpan karbon dalam jumlah besar; kajian multi-strata di Sumatra mencatat potensi penyerapan karbon hingga 52 ton C per hektare. Sistem seperti Repong Damar di Lampung menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati di kawasan agroforestri dapat mendekati hutan alam, dengan flora-fauna lokal tetap tumbuh subur. Karena lapisan vegetasi yang padat dan beragam, agroforestri menciptakan udara yang lebih sejuk, tanah yang lebih lembap, dan produktivitas lahan yang lebih tinggi.

Manfaat sosial-ekonomi

Sejumlah tanaman konservatif justru bernilai komersial tinggi. Aren, misalnya, selain menghasilkan gula merah dan kolang-kaling, juga menyimpan potensi sebagai sumber bioenergi. Nira aren dapat difermentasi menjadi bioetanol sebagai bahan bakar terbarukan.

Komoditas lain, seperti kopi dan teh, telah lama menjadi tulang punggung ekonomi dataran tinggi Indonesia. Di Jawa Barat saja, agroforestri kopi mencakup sekitar 50 ribu hektare di 350 desa dan melibatkan hampir 200.000 petani. Sistem ini terbukti meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, hingga melampaui standar hidup minimum regional. Tanaman multi-tahunan lain, seperti damar atau kayu pulp menambah sumber penghasilan melalui getah, kayu, atau hasil sampingan lainnya, sehingga memperkuat ketahanan ekonomi keluarga petani.

Di saat yang sama, diversifikasi komoditas semakin memperkuat daya tahan petani terhadap fluktuasi iklim dan harga pasar. Permintaan global minyak atsiri terus meningkat 3–5 persen per tahun, dan pada 2024 Jawa Barat mencatat ekspor sereh wangi hampir US$68 juta (sekitar Rp 1,13 triliun), menunjukkan potensi besar tanaman konservatif sebagai sumber devisa.

Sistem kebun tradisional, seperti talun di Jawa Barat atau Repong Damar di Lampung, juga membuktikan bahwa kombinasi tanaman mampu memberikan multi-return ekonomi, sekaligus menjaga kesehatan tanah. Agroforestri mengubah pertanian dari pola subsisten menuju pola komersial berkelanjutan yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim yang produktif, tangguh, dan ramah lingkungan.

Untuk mengarusutamakannya, kolaborasi multipihak menjadi kunci. Petani sebagai aktor utama perlu memperoleh penyuluhan teknik agroforestri, akses bibit unggul, serta jaringan pasar yang adil. Program Perhutanan Sosial yang memberi hak kelola lebih dari 8,3 juta hektare kepada 1,4 juta keluarga menjadi contoh bagaimana kebijakan dapat membuka peluang ekonomi baru melalui pendampingan, bantuan modal, dan skema pemasaran komoditas unggulan.

Di sisi lain, dunia usaha dapat memperkuat rantai nilai agroforestri melalui investasi pengolahan, riset pascapanen, hingga skema off-taker yang membeli langsung dari kelompok tani. Sinergi ini memastikan lingkungan tetap terlindungi, tanpa mengorbankan kesejahteraan petani, menjadikan agroforestri sebagai pilar penting pembangunan berkelanjutan.

*) Kuntoro Boga Andri adalah Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian

Bagikan

Mungkin Kamu Suka