Banda Aceh (KABARIN) - Ulama Aceh meminta Presiden RI Prabowo Subianto menetapkan status bencana nasional untuk bencana hidrometeorologi yang melanda tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Penetapan ini dinilai penting agar penanganan bencana bisa lebih cepat sekaligus membuka akses bantuan internasional.
“Ulama Aceh sepakat meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai darurat bencana nasional,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Senin.
Permintaan tersebut merupakan hasil rekomendasi Muzakarah Ulama Aceh 2025 yang dirangkai dengan doa bersama untuk para korban banjir dan tanah longsor. Kegiatan itu digelar di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Tgk Faisal menjelaskan, penetapan status bencana nasional dibutuhkan untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka jalur bantuan kemanusiaan internasional yang terkoordinasi dan akuntabel.
Selain itu, ulama Aceh juga mendorong Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem agar menyusun peta jalan pembangunan Aceh pascabencana. Peta jalan tersebut diharapkan terintegrasi dan berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.
Para ulama juga meminta pemerintah daerah melakukan revisi anggaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan penanganan banjir dan longsor. Di sisi lain, pemerintah pusat diminta memberi perhatian serius melalui dukungan anggaran serta langkah strategis jangka pendek dan panjang yang objektif dan proporsional sesuai tingkat kedaruratan.
Dalam rekomendasi lainnya, ulama menekankan pentingnya transparansi dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan. Mereka juga meminta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang berkontribusi pada terjadinya bencana.
Untuk masyarakat Aceh, ulama mengimbau agar terus memperkuat solidaritas sosial, menjaga etika bermedia dan bersosial di tengah musibah, serta menghindari fitnah dan provokasi yang bisa memperkeruh suasana.
Tgk Faisal menegaskan, menyerahkan penanganan kepada pemerintah pusat bukan berarti putus asa atau berhenti bekerja. Menurutnya, itu adalah bentuk kesadaran bahwa dalam kondisi tertentu, bencana besar tidak bisa ditangani sendiri oleh daerah.
Ia mencontohkan situasi di lapangan saat bencana terjadi, ketika derasnya air bercampur batu dan material lainnya membuat warga sulit saling membantu.
“Dalam kondisi seperti itu, wajar jika pemerintah daerah meminta bantuan lebih besar dari pemerintah pusat,” kata Tgk Faisal.
Ulama yang akrab disapa Lem Faisal itu juga mengingatkan bahwa masyarakat Aceh sudah berkali-kali menghadapi musibah besar. Namun, di setiap cobaan, Allah SWT selalu menganugerahkan ketabahan dan kekuatan batin agar rakyat Aceh tetap berdiri menghadapi situasi tersulit.
Ia menegaskan, ulama Aceh tidak akan pernah meninggalkan masyarakatnya. Dalam setiap bencana, ulama hadir bukan hanya untuk memimpin doa, tetapi juga menguatkan jiwa, menuntun moral, dan menjaga solidaritas.
“Ulama akan terus bersama masyarakat dan pemerintah Aceh, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, untuk membantu masyarakat dalam menghadapi musibah,” demikian Lem Faisal.