Jakarta (KABARIN) - Melewati masa tua bersama pasangan hingga maut memisahkan adalah impian setiap pasangan, terutama jika pernikahan tersebut telah bertahan selama bertahun-tahun. Sehingga, sering kali dianggap sudah “aman” dari badai perpisahan.
Namun bagi sebagian orang, pernikahan yang berjalan lama tak selalu menjamin kebahagiaan. Di fase lansia sering dijadikan waktu untuk menata ulang hidup dan hubungan yang dijalani. Dari proses ini muncul istilah yang dikenal "gray divorce".
Gray divorce merupakan sebuah istilah untuk perceraian yang terjadi pada pasangan yang berusia 50 tahun ke atas, serta biasanya telah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Perceraian di usia senja ini biasanya bukan sekadar keputusan emosional sesaat, melainkan berkaitan dengan pencarian makna hidup, ketenangan batin, dan kualitas hubungan di sisa usia.
Asal usul istilah gray divorce
Istilah gray divorce pertama kali dicetuskan oleh AARP (American Association of Retired Persons) pada 2004. Istilah ini muncul setelah organisasi tersebut menerbitkan studi mendalam mengenai fenomena perpisahan yang terjadi di usia paruh baya ke atas.
Istilah ini semakin populer di kalangan peneliti setelah sosiolog Susan L. Brown dan I-Fen Lin dari Bowling Green State University mempublikasikan penelitian berjudul “The Gray Divorce Revolution” pada 2012. Maka dari itu, Susan Brown turut membantu dalam menciptakan istilah gray divorce ini.
Kendati demikian, di beberapa negara seperti Inggris, pasangan yang bercerai di usia lanjut sering dijuluki sebagai “silver splitters” dan “silver surfers”. Sementara di Jepang, istilah ini dikenal sebagai “retired husband syndrome” atau sindrom suami pensiunan.
Gray divorce disebabkan beberapa faktor
Melansir laman Very Well Mind dan sumber lainnya, berikut beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gray divorce:
1. Empty nest syndrome
Ketika anak-anak telah dewasa dan meninggalkan rumah, pasangan sering kali menyadari bahwa hubungan mereka selama ini lebih berfokus pada peran sebagai orang tua, bukan sebagai pasangan.
2. Masalah finansial
Menjelang pensiun, konflik uang bisa menjadi lebih intens dan sulit didamaikan. Rahasia finansial, seperti menyembunyikan utang atau rekening, juga berpotensi merusak keharmonisan pernikahan yang telah berlangsung lama.
3. Ketidaksetiaan
Perselingkuhan adalah salah satu penyebab perceraian yang paling umum, bahkan juga di kalangan pasangan lansia. Pengkhianatan ini sangat merusak kenangan bersama dan sulit untuk membangun kembali rasa percaya serta keintiman pasangan.
4. Masalah kesehatan
Penyakit kronis yang serius di masa tua sering kali menguji hubungan pernikahan. Tidak semua pasangan secara bersama-sama memiliki kemampuan untuk mengelola beban emosional dan fisik yang timbul akibat masalah kesehatan.
5. Renggangnya hubungan
Renggangnya hubungan yang disebabkan oleh perubahan prioritas hidup di masa tua, sering kali juga berujung pada perceraian.
Hal ini seperti perbedaan minat dan nilai kehidupan baru di antara mereka yang sulit disatukan, sehingga perpisahan menjadi jalan keluar.
6. Ekspektasi yang berubah
Ekspektasi terhadap pernikahan yang berubah turut menjadi faktor terjadi perceraian masa tua. Umumnya pernikahan lebih dipandang sebagai ruang untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Namun, ketika kebutuhan emosional itu tidak lagi terpenuhi, perceraian dianggap sebagai pilihan yang terbaik.
7. Berkurangnya stigma buruk tentang perceraian
Berkurangnya stigma negatif terhadap perceraian turut mendorong meningkatnya perceraian di usia lanjut. Terutama tumbuhnya kesadaran bahwa kebahagiaan diri sendiri juga penting untuk dijaga.
Di sisi lain, perempuan yang lebih mampu dan mandiri dalam finansial juga mendukung untuk mereka menentukan pilihan hidup sendiri di luar pernikahan.