Jakarta (KABARIN) - Pemerintah bersiap mengerem laju produksi nikel pada 2026 sebagai strategi menjaga stabilitas harga komoditas tambang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa target produksi nikel dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun depan akan dipangkas secara signifikan.
Langkah ini diambil untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, sekaligus mengangkat harga nikel yang belakangan tertekan. Tak hanya nikel, kebijakan serupa juga diterapkan pada komoditas batu bara.
“Semua kami pangkas. Bukan hanya nikel, batu bara pun kami pangkas,” ujar Bahlil usai konferensi pers kesiapan sektor ESDM menghadapi libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 di Jakarta.
Menurut Bahlil, melimpahnya pasokan menjadi salah satu penyebab utama anjloknya harga batu bara global. Saat ini, total batu bara yang diperdagangkan dunia mencapai sekitar 1,3 miliar ton, dengan Indonesia menyumbang hampir setengahnya, yakni sekitar 500–600 juta ton.
“Indonesia itu hampir 50 persen dari suplai global. Kalau terlalu banyak, ya harga pasti turun,” jelasnya.
Data harga acuan batu bara (HBA) menunjukkan tren penurunan sejak awal November. Pada periode II Oktober, harga masih berada di level 109,74 dolar AS per ton. Namun, angka tersebut terus merosot menjadi 103,75 dolar AS di awal November, lalu turun lagi menjadi 102,03 dolar AS di pertengahan bulan.
Memasuki periode I Desember, harga kembali melemah ke level 98,26 dolar AS per ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan November tahun lalu yang masih menyentuh 114,43 dolar AS per ton.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah berkomitmen memperketat pengawasan terhadap perusahaan tambang, terutama yang dinilai tidak patuh terhadap ketentuan.
“Bagi perusahaan yang tidak menaati aturan, mohon maaf, RKAB-nya bisa kami tinjau ulang,” tegas Bahlil.
Kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem pertambangan yang lebih sehat, menjaga keseimbangan pasar, serta memberi dampak positif bagi harga nikel dan batu bara Indonesia di pasar global.