Jakarta (KABARIN) - Industri film Indonesia sedang mengalami masa keemasan. Itu terlihat jelas dari data yang dipresentasikan oleh JAFF Market, bagian dari Jogja-Netpac Asian Film Festival, saat menghadiri Asian Contents & Film Market, di Busan, Korea Selatan.
Berdasarkan salindia panitia yang diterima di Jakarta, Senin, produksi film Indonesia diperkirakan akan menguat dari 152 film pada 2024 menjadi sekitar 200 pada 2028.
Penguatan itu sudah dimulai, terutama sejak 2022 saat masa pemulihan setelah pandemi COVID-19.
Tim peneliti JAFF Market menganalisis data jumlah penonton, bioskop, banyaknya film yang diproduksi, dan kebiasaan penonton.
Hasil studi mereka menunjukkan adanya perubahan besar dalam selera penonton domestik.
Dari tahun 2016 hingga 2019, film impor mendominasi bioskop di Indonesia.
Sepuluh film impor terlaris rata-rata ditonton 50 juta orang setiap tahun, sementara film Indonesia hanya ditonton 23 juta orang per tahun.
Namun, sejak 2022, keadaannya berbalik total. Sepuluh film Indonesia terlaris kini berhasil menarik 30-40 juta penonton per tahun, mengalahkan film impor yang jumlah penontonnya turun menjadi 20-25 juta.
Perubahan selera itu menunjukkan bahwa penonton Indonesia kini lebih menyukai cerita-cerita dari dalam negeri, yang jenisnya juga semakin beragam, tidak hanya horor dan drama, tetapi juga komedi dan animasi.
Jumlah bioskop bertambah
Jumlah layar bioskop juga ikut bertambah. Hingga 2024, Indonesia punya lebih dari 2.200 layar, dan diperkirakan akan mencapai 2.700 layar pada 2030.
Pertumbuhan jumlah layar itu didorong oleh pertumbuhan PDB per kapita yang stabil, dominasi demografi muda, urbanisasi yang cepat, dan meningkatnya permintaan hiburan terjangkau.
Meskipun layanan streaming semakin populer, kebiasaan menonton di bioskop tetap kuat.
Genre horor, komedi, dan film-film kolosal masih menjadi daya tarik utama di bioskop.
Pada 2024, lebih dari 126 juta tiket bioskop terjual di Indonesia, salah satu yang tertinggi di Asia setelah pandemi.
Meskipun begitu, rasio jumlah penonton per orang di Indonesia masih rendah, di bawah 0,5.
Angka tersebut menunjukkan potensi pertumbuhan ke depannya masih sangat besar, terutama seiring dengan semakin banyaknya bioskop di berbagai daerah.
Jenis film drama masih menjadi yang paling banyak diproduksi. Namun, dalam empat tahun terakhir, film horor menjadi primadona dengan lebih dari 50 judul dirilis setiap tahun.
Film komedi juga stabil dengan rata-rata 20 judul per tahun, sementara film animasi mulai mencetak rekor di box office.
Cerita lokal
Industri film Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Data terbaru menunjukkan selera penonton telah berubah. Jika dulu film impor merajai, kini film lokal yang jadi pemenang.
Perubahan tidak hanya menunjukkan bangkitnya kembali film nasional, tetapi juga tumbuhnya keyakinan penonton pada cerita-cerita dari film Indonesia yang ditayangkan di bioskop.
Penonton kini lebih menghargai keberanian para sineas lokal yang membuat film dari berbagai genre. Ini membuktikan bahwa industri film Indonesia punya kekuatan baru di mata dunia.
Analisis data JAFF Market di Busan didukung oleh Cinepoint, platform data film pertama di Indonesia.
Kemitraan itu bertujuan untuk membangun ekosistem yang bisa membantu para pelaku industri membuat keputusan yang lebih cerdas dan menjaga pertumbuhan industri yang berkelanjutan.
Beberapa temuan penting dari proyeksi studi itu, antara lain, penonton stabil. Jumlah penonton bioskop mencapai 82 juta pada 2024 dan diperkirakan stabil di kisaran 100 juta per tahun mulai 2026.
Produksi meningkat. Produksi film diperkirakan naik dari 152 judul pada 2024 menjadi sekitar 200 judul per tahun pada 2028.
Genre beragam. Adopsi genre campuran seperti horor-komedi atau horor-religi menunjukkan film Indonesia tidak hanya bertambah banyak, tetapi juga semakin kreatif dalam mengeksplorasi bentuk dan tema.
Temuan-temuan itu diharapkan dapat menjadi pembahasan utama bagi pemangku kepentingan di JAFF Market 2025, Yogyakarta pada 29 November hingga 1 Desember.
Dengan berbagai program, JAFF Market bisa menghubungkan para pelaku industri film dan memperkuat peran Indonesia di dunia perfilman Asia.
Bersamaan dengan itu, Jogja-NETPAC Asian Film Festival akan merayakan ulang tahun ke-20 pada 29 November hingga 6 Desember 2025, dengan program retrospektif, pemutaran film perdana, dan forum internasional.
Dengan data yang kuat dan rencana yang matang, industri film Indonesia bisa semakin mapan dan siap menjadi pemain kunci di panggung sinema global.
Pola masa keemasan
Kebangkitan film Indonesia ini seperti berupa bagian dari pola yang pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perfilman nasional.
Menurut informasi yang dihimpun ANTARA, setiap kali industri perfilman sangat turun, misalnya karena gejolak politik atau krisis ekonomi, selalu diikuti dengan kebangkitan yang kuat dari sisi domestik.
Sejarah film di Indonesia dimulai di era kolonial, saat film didominasi oleh produser Tionghoa dan Belanda.
Film pertama Indonesia dirilis pada 1950, Darah dan Doa, dan industri perfilman nasional mengalami masa keemasan pertamanya pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an.
Namun, industri film ini sempat merosot karena televisi mulai menggeser penonton dari bioskop dan pembajakan VCD/DVD merajalela.
Krisis moneter Asia pada akhir 1990-an memperparah penurunannya.
Gerakan sineas lokal pada 2000-an sempat kembali membangkitkan industri perfilman dengan temanya yang inspiratif hingga mengusung semangat kebaruan di era reformasi, membuka peluang bagi banyak film Indonesia lain untuk diproduksi dan ditonton publik.
Pada 2016, film dihapus dari Daftar Negatif Investasi, yang memungkinkan masuknya investasi asing. Kebijakan itu memicu kebangkitan kedua film lokal.
Setelah dihantam pandemi COVID-19 yang menghentikan produksi selama hampir dua tahun, film lokal kembali menjadi motor utama kebangkitan industri.
Meskipun film-film impor terbatas, film lokal berhasil memecahkan rekor dan menjadi penggerak utama industri.
Jumlah produksi film terus meningkat, dan penonton kembali membanjiri bioskop, membuktikan bahwa kepercayaan pada cerita lokal sangat kuat.
Ini menandai era baru bagi sinema Indonesia, ketika produksi dan penonton saling mendorong pertumbuhan industri.
Terlebih kekuatan pasar film Indonesia yang memiliki market share sekitar 65 persen masih memungkinkan untuk itu.
Baca juga: Film horor Indonesia siap Go Internasional di Asian Contents and Film Market
Baca juga: Matta Cinema Production bawa film Indonesia tembus pasar Internasional di Busan