Jakarta (KABARIN) - Dulu, label “Made in China” sering identik dengan barang murah meriah kayak mainan plastik atau tekstil. Tapi sekarang, cap itu malah nempel di produk canggih, mulai dari mobil listrik, robot humanoid, drone, sampai pabrik pintar.
Transformasi besar ini bukan kebetulan. Semua berawal dari kebijakan ambisius yang dicanangkan pemerintah Tiongkok lewat program Made in China 2025. Diluncurkan pada 2015 oleh PM Li Keqiang, program ini fokus memodernisasi 10 sektor strategis, dari kecerdasan buatan, energi terbarukan, sampai dirgantara. Tujuannya? Mengubah stigma China dari “pabrik dunia” jadi pusat inovasi global.
Hasilnya sudah kelihatan. BYD berhasil menyalip Tesla sebagai penjual mobil listrik terbesar di dunia, Xiaomi punya pabrik mobil listrik dengan 700 robot yang bisa bikin 1 mobil tiap 76 detik, sampai jaringan kereta cepat 45.000 km yang bikin Tiongkok jadi pemilik rel tercepat terbesar di dunia.
Tapi ternyata, Made in China 2025 bukan akhir, melainkan langkah awal. Roadmap-nya dibagi jadi tiga fase: kejar ketertinggalan sampai 2025, sejajar dengan pemimpin dunia pada 2035, dan puncaknya jadi raja manufaktur global di 2049, pas seratus tahun berdirinya RRC.
Meski sempat dihantam perang dagang AS, mulai dari tarif tinggi ala Trump sampai larangan ekspor chip di era Biden. Strategi ini nggak berhenti. Istilahnya mungkin berganti jadi “dual circulation” atau “kemandirian teknologi,” tapi intinya China tetap ngebut ke arah yang sama.
Relevansi buat Indonesia
Cerita Made in China 2025 ini bisa jadi cermin buat Indonesia yang lagi menyiapkan Indonesia Emas 2045. Lewat UU No. 59/2024 tentang RPJP Nasional, kita juga sudah bikin roadmap empat tahap transformasi ekonomi.
- 2025–2029 (Penguatan Transformasi): fokus ke hilirisasi SDA, riset, inovasi, dan produktivitas tenaga kerja. Pelajaran dari China: hilirisasi nggak boleh berhenti di smelter, tapi harus lanjut ke teknologi baterai dan mobil listrik.
- 2030–2034 (Akselerasi Transformasi): dorong lonjakan produktivitas dan ciptain sumber pertumbuhan baru.
- 2035–2039 (Ekspansi Global): jadi kekuatan ekonomi regional dengan ekspor kuat dan terhubung ke rantai pasok dunia.
- 2040–2045 (Indonesia Emas): targetnya jadi negara berpendapatan tinggi, bukan sekadar pengguna teknologi, tapi juga pencipta teknologi.
Intinya, Indonesia perlu konsistensi lintas pemerintahan. Jangan tiap ganti presiden malah ganti prioritas. Kalau kebijakan bisa berlanjut, industrialisasi dan inovasi bisa benar-benar jadi prioritas nasional, bukan sekadar jargon politik lima tahunan.
Tantangan dan peluang
Tantangan eksternal pasti ada, mulai dari persaingan geopolitik sampai isu lingkungan. Tapi kayak Tiongkok, tekanan global justru bisa jadi katalis buat memperkuat kemandirian.
Di sisi lain, bonus demografi bisa jadi modal besar buat Indonesia. Syaratnya, harus ada investasi serius di riset, inovasi, dan pendidikan vokasi. Ditambah lagi, reformasi birokrasi juga penting biar iklim investasi makin ramah, misalnya lewat sistem perizinan digital, insentif pajak buat industri strategis, dan regulasi yang nggak tumpang tindih.
Made in China 2025 udah buktiin satu hal: dengan visi jelas, eksekusi konsisten, dan keberanian ambil risiko, sebuah negara bisa ubah reputasi globalnya dalam 10 tahun. Indonesia juga bisa, asal berani serius menggarap hilirisasi plus inovasi. Dengan begitu, cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, tapi sesuatu yang nyata.