Menilik beda cara China dan Indonesia rawat warganya yang lansia

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Setiap pagi di Panjin, Provinsi Liaoning, China, Yang Yonghua (68) rutin jalan kaki ke pusat perawatan lansia ditemani putranya. Di sana, ia bisa ketemu teman-teman, bikin kerajinan, makan bareng, sampai ikut terapi. Hidupnya sebagai lansia terasa aktif dan nggak sendirian.

Kisah berbeda datang dari Ira (62, nama samaran) di Jakarta Timur. Sehari-hari, ia tinggal bareng suami, dua putri, menantu, dan cucu kecil berusia 2 tahun. Aktivitasnya lebih banyak di rumah, mengasuh cucu sambil nemenin keluarga. Nggak ada pusat perawatan khusus seperti di China, karena di Indonesia lansia biasanya dirawat langsung oleh keluarga.

Padahal, dua negara ini lagi menghadapi tantangan yang sama: jumlah lansia yang makin banyak. China kini punya lebih dari 310 juta penduduk berusia di atas 60 tahun (22 persen total penduduk). Sementara itu, Indonesia juga masuk era penuaan dengan 33,9 juta jiwa lansia, atau hampir 12 persen populasi.

China sudah lebih dulu bikin sistem perawatan berbasis komunitas dengan standar nasional. Pemerintahnya menyediakan pusat layanan yang ngasih makan, bantu kebersihan, respons darurat, sampai hiburan. Biayanya juga ramah kantong, misalnya di Tibet, lansia cukup bayar 20 yuan per hari untuk makan dan layanan lain. Di beberapa kota, bahkan ada daycare lansia yang gabung dengan fasilitas hiburan dan tempat tinggal.

Indonesia juga punya program, seperti ATENSI dari Kementerian Sosial, sekolah lansia, hingga kartu lansia yang kasih potongan harga transportasi dan cek kesehatan. Tapi, di lapangan, perawatan jangka panjang (long-term care/LTC) masih lebih banyak dilakukan keluarga. Data menunjukkan 80 persen lebih lansia di Indonesia dirawat anak, cucu, atau kerabat dekat. Hanya sebagian kecil yang ditangani tenaga profesional.

Hal ini bikin muncul dilema baru: banyak caregiver akhirnya harus berhenti kerja demi merawat orang tua atau anggota keluarga lanjut usia. Risiko jatuh miskin di masa tua pun jadi lebih besar karena mereka nggak punya tabungan dari hasil kerja.

Di sinilah peran negara dibutuhkan. Penguatan sistem dan infrastruktur bisa bantu meringankan beban keluarga. China sudah membuktikan, dengan daycare lansia khusus seperti yang ditempati Li Shihua (88), penderita demensia, kondisi kesehatan bisa lebih stabil, sementara keluarga lebih tenang.

Di Indonesia, daycare atau panti wreda sebenarnya ada, tapi jumlahnya masih minim. Banyak lansia juga masih enggan tinggal di sana. “Mengingat anak muda sekarang sangat sibuk, saya kira perlu dilakukan pengadaan semacam panti wreda, tetapi harus baik pengelolaannya,” kata Ira.

Pelajaran pentingnya jelas: merawat lansia butuh kerja sama pemerintah, komunitas, dan keluarga. Kalau sistemnya kuat dan fasilitasnya memadai, kualitas hidup lansia bisa lebih baik, keluarga nggak terlalu terbebani, dan Indonesia punya ekosistem perawatan lansia yang lebih manusiawi.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka