Simplifikasi regulasi pajak emas untuk mendorong investasi

waktu baca 4 menit

Jakarta (KABARIN) - Mulai 1 Agustus 2025, Kementerian Keuangan resmi menerapkan kebijakan penyederhanaan regulasi perpajakan emas, terutama yang menyangkut pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas emas batangan dan perhiasan.

Langkah ini menjadi titik balik penting dalam reformasi fiskal sektor logam mulia, dengan harapan dapat menggairahkan kembali minat investasi masyarakat terhadap instrumen emas.

Sebelumnya, regulasi perpajakan emas di Indonesia diwarnai dengan kompleksitas tarif dan perbedaan perlakuan antara emas batangan, perhiasan, dan produk turunannya. Akibatnya, pasar emas tidak optimal sebagai kendaraan investasi yang transparan, efisien, dan kompetitif.

Penyederhanaan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan investor, sekaligus meningkatkan daya saing industri logam mulia nasional.

Gambaran Kebijakan Baru

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2025, pemerintah menetapkan skema baru pengenaan PPN untuk emas batangan dan emas perhiasan. Dalam kebijakan ini, emas batangan tetap dikenakan tarif PPN sebesar 1,1 persen dari harga jual, namun penyetoran dan pemotongan dilakukan langsung oleh pengusaha kena pajak penjual, sehingga pembeli tidak perlu lagi mengurus pengkreditan pajak.

Untuk emas perhiasan, tarif yang sama dikenakan pada produsen, sedangkan pada level pengecer ke konsumen, PPN dianggap telah termasuk dalam harga jual sehingga tidak lagi dikenakan secara eksplisit. Selain itu, jasa pembuatan perhiasan emas kini juga dikenai tarif PPN sebesar 1,1 persen, menggantikan metode penghitungan lama yang lebih rumit.

Kebijakan ini secara menyeluruh bertujuan untuk menertibkan sektor emas dari sisi fiskal dan memberi insentif struktural agar masyarakat lebih percaya pada legalitas dan transparansi investasi emas.

Optimalisasi investasi emas domestik

Emas telah lama menjadi instrumen investasi alternatif yang populer di Indonesia, terutama dalam menghadapi tekanan inflasi dan ketidakpastian global. Namun, karakter informal pasar emas serta ketidakpastian regulasi membuat emas kerap diperlakukan sebagai sarana spekulatif alih-alih sebagai investasi jangka panjang yang produktif.

Dengan penyederhanaan regulasi ini, ada harapan besar untuk meningkatkan minat investor ritel, mendorong transparansi transaksi, dan memperkuat industri logam mulia. Kepastian tarif dan mekanisme perpajakan yang jelas diharapkan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap legalitas investasi emas.

Penjual yang diwajibkan memungut dan menyetor PPN secara langsung juga mendorong sistem transaksi yang tercatat dan akuntabel. Bagi pelaku usaha, penyederhanaan ini mengurangi beban administrasi dan ketidakpastian fiskal, menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan menarik bagi investor institusional.

Selain itu, kebijakan ini membuka peluang untuk pengembangan produk derivatif emas seperti tabungan emas digital atau obligasi emas, yang masih sangat minim di pasar domestik.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencoba menyeimbangkan antara fiskalisasi dan dorongan terhadap investasi emas. Negara-negara seperti Singapura dan Australia membebaskan emas batangan dan koin dari pajak konsumsi, asalkan memenuhi kriteria sebagai logam mulia investasi.

Kebijakan ini telah berhasil menjadikan kedua negara tersebut sebagai pusat perdagangan emas di kawasan masing-masing. Di sisi lain, India yang mengenakan pajak 3 persen atas emas menghadapi tantangan besar berupa pasar gelap, meskipun telah meluncurkan skema obligasi emas untuk mengurangi ketergantungan pada emas fisik.

Sementara itu, Turki memilih untuk menumbuhkan pasar emas melalui sistem perbankan, dengan emas yang disimpan di bank dapat menghasilkan imbal hasil dan digunakan sebagai dasar penerbitan surat utang berbasis emas.

Jika dibandingkan, Indonesia mengambil posisi tengah dengan tarif 1,1 persen yang final dan mudah diadministrasikan. Meskipun tidak semurah Singapura atau Australia, kebijakan ini menawarkan kompromi antara kebutuhan penerimaan negara dan dukungan terhadap investasi.

Posisi Indonesia dalam Lanskap Global

Dengan populasi besar dan budaya menyimpan emas yang kuat, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekosistem emas yang lebih formal dan produktif. Tantangannya terletak pada membangun sistem perdagangan yang efisien, transparan, dan terintegrasi secara digital.

Tarif PPN 1,1 persen yang final dapat menjadi insentif tersendiri bagi investor yang sebelumnya enggan masuk karena kerumitan aturan perpajakan. Namun untuk bersaing dengan negara lain, Indonesia harus terus menyempurnakan infrastruktur pasar emas, memperluas akses terhadap produk investasi emas digital, dan menjamin perlindungan investor.

Pemerintah perlu menjaga kesinambungan kebijakan serta meningkatkan literasi masyarakat agar emas dapat benar-benar menjadi kendaraan investasi yang produktif dan inklusif.

Penyederhanaan regulasi perpajakan emas bukan sekadar langkah administratif, tetapi sinyal kuat bahwa pemerintah ingin membangun ekosistem investasi yang lebih akuntabel dan ramah investor.

Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian, emas tetap menjadi pilar penting dalam strategi diversifikasi aset. Namun agar kebijakan ini berdampak luas, pemerintah perlu memperkuat sosialisasi kepada masyarakat, memfasilitasi integrasi emas dalam sistem keuangan digital, dan menjaga koordinasi antarlembaga untuk mendukung pertumbuhan pasar emas formal.

Kebijakan 1 Agustus 2025 adalah pijakan awal yang menjanjikan bagi masa depan investasi logam mulia di Indonesia.

*) Dr. M. Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan RI

​​​​​​

Bagikan

Mungkin Kamu Suka