Luka batin warga Gaza: Hidup dalam bayang trauma perang yang tak usai

waktu baca 4 menit

Menurut para pakar, dibutuhkan waktu beberapa generasi untuk menyembuhkan luka-luka tersebut.

Gaza (KABARIN) - Sembari duduk di dalam sebuah tenda darurat di Gaza utara, Mariam Abu al-Kas (31) menatap kosong ke depan, tangannya gemetar ketika berbicara.

"Setiap kali saya memejamkan mata, saya teringat kembali akan malam itu," ujar wanita tersebut kepada Xinhua.

Satu setengah tahun yang lalu, dia kehilangan suami dan lima anaknya dalam sebuah serangan udara Israel.

"Dalam mimpi saya, saya mendengar rudal mendekat, jeritan anak-anak saya, dan kemudian keheningan. Saya merasa seolah-olah terjebak di bawah reruntuhan, mencari-cari mereka dengan tangan kosong," kata Mariam.

Sebelum perang, Mariam adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta di Gaza City.

"Kami memiliki kehidupan yang sederhana dan bahagia. Tapi, sekarang, saya bahkan tidak bisa mengenali diri saya sendiri di cermin. Seolah-olah perang telah merenggut wajah, suara, dan jiwa saya," kata Mariam.

Beberapa pekan setelah senjata-senjata tak lagi bersuara di Jalur Gaza, warga seperti Mariam terus hidup di bawah bayang-bayang luka psikologis yang ditinggalkan oleh operasi militer yang dilancarkan Israel tanpa henti selama dua tahun, yang menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan warga mengungsi. Menurut para pakar, dibutuhkan waktu beberapa generasi untuk menyembuhkan luka-luka tersebut.

Di tenda lain di Kota Deir al-Balah, di Gaza tengah, Samah Ahmed (22), seorang mahasiswi jurusan teknik yang mengungsi dari Gaza City, duduk diam.

"Perang telah merenggut kemampuan saya untuk menangis," ujar wanita itu kepada Xinhua.

Samah kehilangan saudara kembarnya Ismail ketika sebuah rudal menghantam lingkungan mereka.

"Saya menyaksikan tembok runtuh dan mendengar dia meneriakkan nama saya. Kemudian dia menghilang. Saya berlari mencarinya di antara debu dan asap, tetapi, saya tidak menemukan apa pun selain abu," kata Samah.

Sejak hari itu, Samah tidak bisa menangis.

"Saya mencoba untuk meredakan rasa pedih, tetapi, tidak ada hasil. Rasanya seperti hati saya membeku. Saya tidak lagi merasakan kesedihan atau kegembiraan," ujar dia.

Salem Abu Taha, seorang psikolog yang berbasis di Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa gejala-gejala yang dialami Samah adalah gejala yang biasa disebut para pakar sebagai "mati rasa secara emosional", suatu bentuk trauma psikologis yang parah.

"Dalam kasus kehilangan yang tiba-tiba, terutama kehilangan orang yang dikasihi, pikiran melindungi dirinya sendiri dengan melepaskan diri dari kenyataan. Tanpa perawatan, trauma tersebut dapat berkembang menjadi depresi kronis atau masalah perilaku," kata Abu Taha.

Abu Taha mengatakan ratusan anak muda Gaza mengalami kondisi serupa. Dia menyerukan program terapi kelompok dan inisiatif rehabilitasi bagi para pelajar. Mereka membutuhkan bantuan untuk mengungkapkan kesedihan dan membangun kembali kepercayaan diri, tambahnya.

Di Khan Younis, Gaza selatan, trauma terlihat jelas bahkan di kalangan anak-anak. Lana al-Sharif (10) menderita vitiligo, suatu kelainan kulit, setelah menyaksikan rumah di dekatnya hancur dalam pengeboman.

Ibunya mengatakan bahwa Lana sering terbangun di malam hari sambil berteriak dan menutup telinganya, seakan-akan ingin menghalangi suara ledakan yang bergema dalam mimpinya.

Abdullah al-Jamal, direktur Rumah Sakit Jiwa Gaza yang kini telah hancur, menggambarkan situasi kesehatan mental di Gaza sebagai "katastropik".

"Sebagian besar warga Gaza menderita gangguan psikologis sedang hingga berat akibat rasa takut yang terus-menerus dan kurangnya rasa aman," ujar al-Jamal kepada Xinhua.

Dia mengatakan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) dan depresi merupakan kondisi yang paling umum terjadi, sementara perilaku melukai diri sendiri juga telah dilaporkan di kalangan anak muda.

"Kelanjutan dari trauma, yang dikombinasikan dengan kurangnya obat-obatan, dapat mengakibatkan gangguan mental jangka panjang, terutama di kalangan anak-anak," ujar al-Jamal memperingatkan.

Al-Jamal mengatakan bahwa ketersediaan obat psikiatris saat ini kurang dari 50 persen dari tingkat sebelum perang.

"Pusat-pusat kesehatan kekurangan staf terlatih, dan dukungan internasional masih terbatas," ujar dia.

Sebuah laporan dari Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza, yang diterbitkan pada Oktober 2025 dengan judul "Krisis Kesehatan Mental: Dua Tahun Hidup di Bawah Genosida", menemukan bahwa hampir 68 persen penduduk Gaza menderita PTSD.

Laporan tersebut mengatakan bahwa 96 persen anak-anak merasa kematian sudah dekat, 92 persen berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi kehidupan yang baru, dan 87 persen mengalami ketakutan dan mimpi buruk terus-menerus.

"Gencatan senjata saat ini memberikan kesempatan terbatas untuk intervensi psikologis, tetapi tanpa keamanan dan stabilitas, terapi tidak akan berhasil," kata al-Jamal.

Dia menekankan bahwa pemulihan mental harus dikaitkan dengan upaya rekonstruksi dan stabilitas yang lebih luas.

"Masyarakat tidak dapat pulih saat mereka masih khawatir bahwa pengeboman dapat terjadi lagi kapan saja," imbuh al-Jamal.

Al-Jamal mengatakan bahwa membangun kembali ketahanan psikologis Gaza membutuhkan rencana nasional jangka panjang yang mencakup program pengobatan gratis, pelatihan para profesional kesehatan mental baru, serta peluncuran kampanye sosial untuk mendukung anak-anak dan perempuan.

Baca juga: Lebih dari sejuta anak di Jalur Gaza masih membutuhkan makanan dan air bersih

Bagikan

Mungkin Kamu Suka