Cerita dibalik penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid oleh KPK

waktu baca 5 menit

Kisah bermula dari laporan pengaduan masyarakat yang diterima KPK yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengumpulkan bahan keterangan lainnya di lapangan

Jakarta (KABARIN) - Berawal dari laporan pengaduan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdul Wahid selaku Gubernur Riau periode 2024-2029.

Hingga akhirnya, KPK mengungkapkan adanya kode "tujuh batang" dan arahan satu "matahari" saat mengumumkan Abdul sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi dalam bentuk pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau pada tahun anggaran 2025.

Kisah lengkap penangkapan hingga penerapan Gubernur Riau itu diungkap Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada 5 November.

Kisah bermula dari laporan pengaduan masyarakat yang diterima KPK yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengumpulkan bahan keterangan lainnya di lapangan.

Salah satu informasi yang didapatkan KPK adalah mengenai pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru, Riau, pada Mei 2025.

Dalam pertemuan itu, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau Ferry Yunanda bersama enam Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPRPKPP Riau membahas kesanggupan pemberian biaya untuk Abdul sebesar 2,5 persen dari penambahan anggaran tahun 2025.

Sebelumnya, anggaran tahun 2025 untuk UPT Jalan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPRPKPP Riau hanya Rp71,6 miliar, dan meningkat menjadi Rp177,4 miliar. Dengan demikian, terjadi kenaikan anggaran sebesar Rp106 miliar.

Setelah bertemu dengan enam Kepala UPT, Ferry menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Kepala Dinas PUPRPKPP Riau M Arief Setiawan.

Namun, Arief meminta kenaikan pemberian biaya dari 2,5 persen menjadi 5 persen.

Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Sehingga, di kalangan Dinas PUPRPKPP Riau, perintah atau permintaan tersebut juga dikenal dengan istilah "jatah preman".

Abdul, begitu selesai dilantik Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025, mengumpulkan seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan mengatakan jajarannya harus tegak lurus pada satu "matahari", yakni dirinya.

Artinya, apa pun yang disampaikan kepala dinas adalah perintah gubernur. Bila tidak diikuti, maka akan dievaluasi yang dianggap sebagai diganti atau mutasi.

Kemudian terjadi pertemuan berikutnya antara Ferry dengan enam Kepala UPT.

Dalam pertemuan tersebut, disepakati besaran biaya untuk Abdul menjadi sebesar 5 persen dari Rp106 miliar, dan dibulatkan menjadi Rp7 miliar.

Ferry lantas melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Arief dengan menggunakan bahasa kode "tujuh batang".

Setelah itu, setidaknya terjadi tiga kali setoran biaya untuk Abdul yang dilakukan pada Juni, Agustus, dan November tahun 2025.

Pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang sebanyak Rp1,6 miliar dari para Kepala UPT. Arief Setiawan kemudian memerintahkan Ferry untuk membagikan Rp1 miliar kepada Abdul melalui perantara Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam, dan Rp600 juta kepada kerabat Arief.

Pada Agustus 2025, Ferry kembali mengumpulkan uang dari para Kepala UPT atas perintah Dani sebagai representasi Abdul yang disampaikan kepada Arief.

Ferry kemudian berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp1,2 miliar. Kemudian Arief Iskandar memerintahkan untuk mendistribusikannya kepada sopir Arief sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry sebanyak Rp300 juta.

Kendati demikian, KPK masih perlu mempelajari sisa uang sekitar Rp225 juta yang diduga didistribusikan dalam proposal kegiatan.

Kemudian pada November 2025, Kepala UPT Wilayah III yang menjadi pengumpul uang untuk Abdul, dan terkumpul Rp1,25 miliar.

Uang tersebut kemudian diberikan kepada Abdul melalui Arief sebanyak Rp450 juta, dan sebanyak Rp800 juta diduga diberikan langsung kepada sang gubernur.

Dengan demikian, total pengumpulan dan penyerahan uang selama Juni-November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal Rp7 miliar.

Uang tersebut berasal dari setoran para Kepala UPT yang mengaku memakai uang pribadi, meminjam ke bank, dan lain-lain. Namun, KPK mengaku perlu mendalami keterangan tersebut karena belum 100 persen yakin, terlebih pemeriksaan baru dilakukan selama 1x24 jam.

Adapun Abdul diduga baru menerima Rp2,25 miliar selama tiga kali penyerahan uang. Uang tersebut kemudian diduga telah digunakan untuk bepergian ke luar negeri, seperti Inggris dan Brasil.

Namun demikian, pada pemberian ketiga yang terjadi pada 3 November 2025, KPK langsung disergap KPK dalam suatu OTT yang menangkap Arief, Ferry, dan lima Kepala UPT.

Pada penangkapan tersebut, KPK menyita barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp800 juta.

KPK kemudian mencari Abdul, yang diduga bersembunyi. Abdul diduga bersembunyi karena KPK menduga yang bersangkutan sudah membuat janji untuk bertemu antara Arief, Ferry, atau lima Kepala UPT.

Hingga akhirnya, KPK berhasil menangkap Abdul pada sebuah kafe di Pekanbaru, Riau.

KPK juga menangkap orang kepercayaan Abdul, yakni Tata Maulana, di sekitar lokasi penangkapan sang gubernur.

Pada saat yang bersamaan, KPK menggeledah dan menyegel rumah Abdul di wilayah Jakarta Selatan.

Dari penggeledahan itu, KPK menyita 9.000 pound sterling dan 3.000 dolar AS yang bila dikonversi pada 5 November 2025 setara dengan Rp800 juta.

Dengan demikian, KPK total telah menyita uang sebanyak Rp1,6 miliar dalam OTT.

Setelah itu, KPK melakukan pemeriksaan intensif kepada sembilan orang tersebut. Kemudian mereka diterbangkan ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dalam dua kloter pada 4 November 2025.

Kloter pertama berjumlah delapan orang yang terdiri atas Abdul, Arief, Ferry, dan lima Kepala UPT. Sementara kloter kedua hanya Tata seorang diri.

Untuk Abdul, Arief, dan Ferry, ditampilkan kedatangannya di lobi Gedung Merah Putih KPK atau pintu depan. Sementara lima Kepala UPT masuk ke gedung melalui pintu belakang.

KPK memutuskan memisahkan kedatangan lima Kepala UPT dengan Abdul agar tidak terjadi intimidasi karena lembaga antirasuah masih memerlukan keterangan mereka.

Adapun Tata tiba seorang diri melalui pintu depan Gedung merah Putih KPK.

Sementara itu, Dani dikabarkan menyerahkan diri ke Gedung Merah Putih KPK pada saat sebelum Tata tiba di sana.

KPK kemudian melakukan pemeriksaan intensif di Jakarta, dan gelar perkara atau ekspose. Selanjutnya, sekitar pukul 22.00 WIB mengabarkan kepada media yang menunggu kabar terkini bahwa gelar perkara sudah selesai, dan KPK sudah menetapkan sejumlah tersangka.

Pada 4 November 2025 petang, KPK mengumumkan menetapkan Abdul, Arief, dan Dani sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berbentuk pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

KPK menyangkakan mereka melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Oleh sebab itu, ketiga tersangka ditahan selama 20 hari pertama sejak 4 hingga 23 November 2025.

Abdul ditahan di Rumah Tahanan Gedung ACLC atau Pusat Edukasi Antikorupsi KPK. Sementara Arief dan Dani ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka