Di balik jargon pembangunan, tersimpan cerita tentang minimnya kehati-hatian, lemahnya kontrol, dan potensi penyalahgunaan kewenangan
Mataram (KABARIN) - Pagi di Samota, Sumbawa, selalu dimulai dengan pemandangan yang megah. Hamparan bukit hijau yang berpadu dengan laut biru adalah alasan mengapa kawasan ini pernah dielu-elukan sebagai masa depan pariwisata olahraga di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Namun kini, di balik panorama yang indah itu, terselip cerita yang jauh lebih rumit. Sebuah kisah tentang ambisi pembangunan, angka miliaran rupiah, dan tanda tanya besar tentang ke mana arah integritas diletakkan.
Pemerintah Kabupaten Sumbawa mengucurkan dana sebesar Rp53 miliar dari APBD 2023 untuk membeli lahan seluas 70 hektare di kawasan Samota dari mantan Bupati Lombok Timur Ali Bin Dachlan.
Lahan yang direncanakan menjadi lokasi pembangunan Sirkuit Motocross Grand Prix (MXGP) Samota itu digadang-gadang sebagai aset strategis yang dapat menegaskan posisi Sumbawa sebagai tuan rumah ajang balap dunia.
Namun harga pembelian tersebut menimbulkan tanda tanya. Sang penjual mengaku nilai yang diterima terlalu rendah dibanding harga pasar yang seharusnya mencapai sekitar Rp79 miliar.
Kejanggalan ini kemudian berkembang menjadi persoalan hukum serius. Setelah melalui serangkaian penyelidikan dan pemeriksaan sejumlah saksi, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB menyatakan bahwa penetapan tersangka kini tinggal menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Di titik ini, publik disadarkan bahwa proses hukum bukan hanya soal siapa yang bersalah, tetapi juga bagaimana mekanisme pengelolaan uang rakyat bisa tergelincir di tikungan kebijakan yang kabur.
Samota, yang semestinya menjadi simbol kebanggaan pembangunan, kini berubah menjadi panggung ujian akuntabilitas.
Proyek yang semula berambisi memacu ekonomi daerah justru menyingkap sisi lain dari manajemen publik yang rapuh.
Di balik jargon pembangunan, tersimpan cerita tentang minimnya kehati-hatian, lemahnya kontrol, dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Harga tanah
Berdasarkan perkembangan penyidikan yang dirilis oleh Kejati NTB, ditemukan indikasi kuat adanya penggelembungan harga dan penyimpangan prosedur dalam proses jual beli lahan.
Tim Jasa Penilai Publik (JPP) telah dimintai keterangan untuk memastikan kesesuaian nilai lahan dengan harga pasar. Namun perhitungan resmi kerugian negara masih menunggu hasil audit lembaga keuangan negara.
Yang menarik, masalah ini tidak berhenti pada perbedaan harga. Dugaan penyimpangan justru muncul dari proses administratif, mulai dari tahap penilaian, pembebasan, hingga pembayaran yang disebut tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum pengadaan aset pemerintah.
Sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Sumbawa, termasuk pejabat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), telah dimintai keterangan oleh kejaksaan.
Pemeriksaan ini bertujuan membongkar apakah proyek MXGP Samota tergelincir karena kelalaian prosedural atau karena permainan kepentingan di balik kebijakan publik.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak selalu berwujud uang suap di bawah meja.
Ia bisa menyusup halus dalam penilaian aset yang dimanipulasi, appraisal yang bias, atau penggunaan kewenangan yang tidak proporsional.
Dalam kasus Samota, indikasi mark up harga lahan dan pelanggaran prosedur menjadi potret klasik bagaimana kebijakan pembangunan bisa terdistorsi oleh kepentingan jangka pendek.
Kejati NTB bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan telah lebih dulu berkoordinasi sejak Mei 2025 untuk menelusuri potensi kerugian negara.
Kepala Kejati NTB menegaskan, penyidik telah menemukan unsur pidana korupsi berupa penggelembungan harga dan penyalahgunaan wewenang pejabat daerah.
Namun, sebelum melangkah ke tahap penetapan tersangka, hasil audit resmi BPK diperlukan agar setiap langkah hukum berdiri di atas dasar bukti yang tak terbantahkan.
Kasus ini memperlihatkan satu hal penting, yakni pembangunan fisik sering kali berlari lebih cepat daripada mekanisme pengawasan.
Di tengah euforia proyek besar, kontrol publik dan akuntabilitas justru kerap tertinggal di belakang. Ketika transparansi diabaikan, uang publik pun mudah terseret dalam pusaran kepentingan.
Integritas
Kasus lahan MXGP Samota menjadi cermin dari dilema klasik daerah yang tengah mengejar investasi dan reputasi.
Pemerintah daerah ingin menegaskan diri sebagai tuan rumah ajang dunia dan menggerakkan ekonomi lokal.
Namun di sisi lain, pengawasan keuangan dan integritas tata kelola belum sepenuhnya siap mengikuti percepatan ambisi tersebut.
Di sinilah pembangunan dan etika birokrasi kerap bersinggungan, yakni keinginan maju berhadapan dengan godaan kuasa dan peluang penyimpangan.
Sirkuit Samota seharusnya menjadi simbol kebangkitan ekonomi baru di Sumbawa, bukan simbol kekecewaan akibat pengelolaan yang tergelincir.
Kasus ini memberi pelajaran bahwa tata kelola pembangunan yang baik tidak berhenti pada kemampuan merancang proyek, tetapi juga pada keberanian mengelola dana publik dengan jujur dan terbuka.
Setiap rupiah yang dikeluarkan dari APBD mestinya memiliki jejak yang jelas, bukan terselubung dalam angka yang dimanipulasi.
Kehadiran kejaksaan dan lembaga audit dalam kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme hukum masih berjalan. Namun penyelesaiannya tidak boleh berhenti pada penghukuman individu.
Pemerintah daerah perlu menjadikan kasus Samota sebagai momentum reformasi sistem pengawasan internal.
Audit publik seharusnya dilakukan sejak tahap perencanaan, bukan setelah aroma korupsi menyeruak. Proses appraisal harus melibatkan lembaga independen yang kredibel dan diawasi terbuka oleh publik.
Lebih jauh, kasus ini mengingatkan bahwa pembangunan yang sesungguhnya tidak hanya mengukur jumlah proyek yang berdiri, tetapi juga tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah.
Ketika masyarakat percaya bahwa uang pajak mereka digunakan dengan benar, maka dukungan terhadap pembangunan akan tumbuh dengan sendirinya. Kepercayaan publik adalah bahan bakar sejati pembangunan.
Tanpanya, sirkuit megah sekalipun hanya akan menjadi arena kosong, megah di permukaan, rapuh di dalam.
Kini, Sumbawa menanti hasil audit BPK yang akan menentukan arah perkara ini. Publik menunggu bukan hanya nama tersangka, tetapi juga jaminan bahwa ke depan, proyek pembangunan tidak lagi menjadi ladang penyimpangan.
Setiap hektare tanah yang dibeli dengan uang rakyat seharusnya ditanami dengan nilai kejujuran, bukan kepentingan pribadi.
Bayang panjang lahan Samota mengingatkan kita bahwa membangun negeri bukan semata soal infrastruktur, melainkan tentang menanam integritas di setiap kebijakan.
Karena di balik setiap batu pondasi yang kokoh, seharusnya berdiri keadilan yang tak tergoyahkan.