Jakarta (KABARIN) - Psikolog klinis Olphi Disya Arinda, M.Psi., dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa banyak orang menggunakan uang sebagai cara untuk mengatur emosi atau financial coping.
“Banyak orang yang menggunakan financial coping. Jadi, uang itu bukan cuman alat tukar, bukan alat tukar antarbarang aja, tapi juga alat tukar emosi, yang tadinya sedih biar bisa jadi senang lagi,” kata Disya dalam diskusi temu media di Jakarta, Selasa.
Menurut Disya, perilaku seperti belanja berlebihan, meminjam uang, atau menghamburkan uang sering jadi cara untuk meredakan stres, kesepian, atau rasa tidak berdaya. Ketika seseorang merasa insecure atau tidak puas dengan dirinya, mengeluarkan uang bisa memberi rasa kontrol atau kekuatan sementara.
“Banyak orang juga yang mengeluarkan uang tidak pada tujuan yang tepat, sehingga bisa jadi ini ada latar belakang kondisi emosi yang bisa dibilang kurang sehat. Tanpa disadari ini menciptakan pola yang namanya emotional spending atau emotional debt,“ tutur dia.
Disya menambahkan, saat emosi sedang tinggi, otak sulit berpikir logis karena bagian amigdala yang mengatur emosi menjadi lebih aktif. Sementara prefrontal cortex, yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, bekerja lebih lambat. Respons amigdala ini mirip “sistem alarm” yang meningkatkan hormon kortisol sebagai tanda ada ancaman.
“Otak logis kita tuh jadi kayak redup, jadi kita enggak bisa melakukan perencanaan atau pengambilan keputusan yang bijak. Inilah yang membuat seseorang itu cenderung impulsif, menghindar kalau ada masalah atau mengambil keputusan jangka pendek,” ujar Disya yang juga berpraktik di Mayapada Medical Center Kuningan Jakarta.
Editor: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Copyright © KABARIN 2025