Jakarta (KABARIN) - Ahli gastroenterologi mengingatkan penyakit radang usus kronis atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) dapat menimbulkan komplikasi serius apabila tidak terdeteksi dan tidak ditangani sejak dini.
“IBD merupakan penyakit peradangan usus kronis yang dapat kambuh dan membutuhkan pemantauan jangka panjang. Sangat penting untuk mendeteksi dan mendapatkan penanganan dini agar komplikasi dapat dicegah dan kualitas hidup pasien tetap terjaga,” kata Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam selaku dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi–hepatologi, dalam kegiatan Pekan Kesehatan Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn 2025 di Jakarta, Selasa.
Kondisi ini merupakan peradangan berulang pada usus besar maupun usus halus dengan penyebab yang belum sepenuhnya diketahui, namun dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, mikrobiota usus, serta respons imun tubuh.
Ari yang berpraktik di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih menjelaskan faktor genetik tidak sepenuhnya menentukan seseorang terjangkit IBD, karena ketidakseimbangan bakteri usus akibat pola makan dan gaya hidup juga berperan besar. Konsumsi tinggi makanan olahan dan gula dengan rendah serat, kebiasaan merokok, lingkungan terlalu steril, stres berat, serta pola hidup tidak sehat disebut sebagai faktor risiko utama.
Ia menuturkan IBD kerap salah didiagnosis karena gejalanya mirip dengan berbagai gangguan pencernaan lainnya. Gejala yang perlu diwaspadai antara lain diare berkepanjangan lebih dari empat minggu, nyeri atau kram perut, buang air besar berdarah atau berlendir, kelelahan menetap, penurunan berat badan tanpa sebab, demam, nyeri sendi, mata merah atau nyeri, kelainan kulit, serta pertumbuhan terhambat pada anak.
“Banyak dokter salah mendiagnosis karena gejalanya mirip penyakit lain. Pemeriksaan menyeluruh dan konsultasi dengan konsultan gastroenterologi penting agar pasien memperoleh penanganan tepat,” ujarnya.
Untuk memastikan diagnosis, dilakukan sejumlah pemeriksaan meliputi wawancara medis, pemeriksaan laboratorium, biopsi, kolonoskopi, serta penunjang radiologi seperti X-ray, USG, CT scan, atau MRI. Ia menyebut perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi bagian penting dalam pengobatan, disertai terapi simptomatik maupun terapi definitif seperti 5-aminosalicylates, kortikosteroid, imunomodulator, dan terapi biologis.
Ari memperkirakan sekitar satu persen populasi Indonesia mengalami IBD, dengan sekitar 80 persen di antaranya tergolong kasus ringan. “Kasus berat jarang saya temukan di Indonesia. Luka-lukanya ringan dan bisa diatasi dengan obat oral,” katanya.
Salah satu pasien IBD, Steven Tafianoto Wong, mengatakan dirinya mengalami gejala selama lima bulan sebelum mendapatkan diagnosis pasti. Ia telah menjalani berbagai jenis pengobatan mulai dari obat oral, injeksi, hingga terapi biologis yang dinilainya paling efektif.
“Awalnya saya diberi banyak obat, lalu dalam setahun pertama dilakukan terapi oral, injeksi, dan biologis. Terapi biologis paling ampuh karena sampai sekarang masih saya jalani,” ujarnya.
Ari menambahkan dukungan keluarga dan lingkungan sangat penting karena stres dapat memperburuk kondisi pasien. Ia menjelaskan hubungan otak dan usus membuat stres berat berpotensi memicu peradangan hingga mengaktifkan sel-sel yang memperburuk kondisi.
Dengan peningkatan pemahaman masyarakat dan deteksi dini, ia berharap pasien dapat memperoleh kualitas hidup yang lebih baik melalui pengobatan teratur, pengelolaan stres, serta penerapan gaya hidup sehat.
Editor: Raihan Fadilah
Copyright © KABARIN 2025