News

Wacana Raperda KTR dinilai perlu di rem dulu demi suara UMKM

Jakarta (KABARIN) - Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok atau KTR di DPRD DKI Jakarta kembali menuai sorotan. Salah satu anggota Panitia Khusus, Ali Lubis, mengusulkan agar pengesahan aturan tersebut tidak dilakukan terburu-buru dan perlu dievaluasi ulang.

Ali menilai masih ada sejumlah pasal yang berpotensi memberi dampak kurang baik bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama pedagang kecil, warung tradisional, pedagang kelontong, hingga pelaku UMKM.

“Sebagai anggota pansus, ini harus ditunda pengesahannya. Dalam proses pembahasan kemarin, saya sebagai anggota Pansus mengakui belum semua stakeholder diundang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk soal dampak ekonomi," katanya.

Menurut Ali, aspirasi para pelaku usaha kecil yang bersentuhan langsung dengan kebijakan ini seharusnya didengar lebih dulu. Karena itu, ia menilai penundaan menjadi langkah yang masuk akal sebelum aturan benar-benar disahkan.

Ia juga menegaskan bahwa penyusunan regulasi idealnya melibatkan semua pihak yang terdampak. Jika masih ada kelompok masyarakat yang belum diajak berdiskusi, maka prosesnya dianggap belum lengkap.

Ali menyebut kondisi tersebut sebagai alasan kuat agar Ranperda KTR tidak dipaksakan untuk segera disahkan. Ia pun berharap rekan-rekannya di DPRD dapat mempertimbangkan usulan tersebut.

"Kalau bisa jangan buru-buru. Kepada teman-teman lain di DPRD semoga juga dapat mendukung saran saya ini karena memang masih ada hal-hal lain yang luput," ujar Ali.

Pandangan serupa datang dari pengamat hukum tata negara Ali Rido. Ia menyambut positif wacana penundaan pembahasan ranperda tersebut agar bisa dikaji lebih mendalam.

Menurut Rido, setidaknya ada dua catatan penting dalam penyusunan Ranperda KTR, salah satunya berkaitan dengan naskah akademik yang menjadi dasar aturan tersebut.

“NA ini sebagai 'primary identity' dari peraturan perundang-undangan. NA ini perlu disusun ulang karena masih memasukkan peraturan yang secara prinsip sudah tidak berlaku," katanya.

Ia mencontohkan masih adanya rujukan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta sejumlah aturan lain yang secara prinsip telah digantikan.

Rido juga menyinggung adanya 11 putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan ekosistem pertembakauan. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa tembakau merupakan produk yang legal.

Berdasarkan hal itu, ia menilai regulasi seharusnya berfokus pada pengaturan aktivitas, bukan pada pelarangan total produk. Menurutnya, arah kebijakan yang dikehendaki adalah mengatur, bukan menghapus keberadaan produk yang secara hukum sah.

"Karena produknya jelas adalah entitas yang legal,” ungkap Rido.

Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Copyright © KABARIN 2025
TAG: