Jakarta (KABARIN) - Meskipun persaingan di industri film Indonesia semakin ketat, genre horor tetap mempertahankan dominasinya. Film-film horor selalu berhasil menarik minat penonton dan terus menjadi favorit di berbagai kalangan.
Selain hanya sekadar menakut-nakuti, film horor juga menyimpan berbagai nilai yang bisa dipelajari. Mulai dari aspek psikologi, budaya, hingga pesan-pesan sosial, genre ini mampu memberikan pengalaman menonton yang lebih dari sekadar hiburan.
Film horor tetap digemari
Di tahun 2024, Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia melalui sistem e-Sias mencatat ada 87 judul film horor yang mendaftar untuk disensor. Angka ini setara dengan sekitar sepertiga dari total film nasional yang diajukan. Meskipun belum mengalahkan genre drama yang hampir mencapai separuh total film, minat masyarakat terhadap horor jelas tetap tinggi.
Beberapa film horor lokal bahkan sukses besar. Misalnya, KKN di Desa Penari (2022) berhasil menjadi film kedua terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia dengan lebih dari 10 juta penonton. Sedangkan Pengabdi Setan 2: Communion (2022) menempati posisi kelima dengan lebih dari 6 juta penonton. Hal ini membuktikan kalau horor mampu menarik perhatian berbagai generasi.
Menonton horor bukan cuma soal mencari ketegangan. Teori Transfer Eksitasi Dolf Zillmann menyebut bahwa sensasi takut bisa memicu respons fisiologis tertentu, yang akhirnya berubah menjadi perasaan lega atau puas. Artinya, horor bisa menjadi cara aman untuk merasakan emosi ekstrem, belajar mengendalikan perasaan, dan memahami reaksi tubuh terhadap stres.
Selain itu, film horor dapat membantu penonton mengenali rasa takut, cemas, atau trauma, sambil memberi ruang untuk merenung dan memulihkan emosi melalui alur cerita yang terstruktur.
Belajar lewat cerita lokal
Film horor Indonesia sering mengangkat kisah rakyat, mitos, dan legenda yang sudah lama hidup di masyarakat. Sosok hantu lokal seperti kuntilanak, pocong, dan tuyul sudah menjadi bagian dari budaya populer. Selain itu, berbagai mitos dan pamali juga memiliki fungsi edukatif sebagai pengingat sosial.
Dr. Mochamad Irfan Hidayatullah, dosen Proses Kreatif: Produksi Film dari Sastra Indonesia FIB Universitas Padjadjaran, menjelaskan, "Sebenarnya, fiksi itu selalu mencari bahan-bahan yang paling dekat dengan masyarakat. Nah, kalau yang paling dekat dengan masyarakat biasanya cerita-cerita yang berkembang di masyarakat secara lisan maupun tulisan." Ungkapnya.
Cerita-cerita ini lahir dari kearifan lokal yang bertujuan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Irfan menambahkan, media penyebaran cerita juga berkembang dari waktu ke waktu, dari lisan, radio, hingga audio visual sehingga akhirnya bisa diangkat menjadi film horor.
Dengan begitu, film horor bisa berperan sebagai sarana literasi budaya. Misalnya, KKN di Desa Penari (2022) menampilkan desa yang memiliki larangan untuk melewati hutan sakral. Mitos tersebut mengajarkan pentingnya menghormati aturan dan nilai spiritual masyarakat lokal.
Manoj Punjabi, CEO MD Pictures, menekankan bahwa kesuksesan horor lokal berasal dari kemampuannya menarik perhatian dan kepercayaan penonton. Hal ini membuktikan bahwa film horor bukan hanya hiburan, tapi juga sarana komunikasi sosial yang efektif.
Horor lokal vs horor luar
Menurut Jinu, anggota komunitas film Literature Optical Cinema FIB Unpad, orang Indonesia cenderung lebih nyaman menonton horor lokal karena ceritanya dekat dengan budaya mereka.
"Menurut aku horor Indonesia masih punya peluang lebih besar dibanding horor luar negeri. Lingkungan dan budaya mistis di sini bikin penonton merasa dekat dengan film lokal," ujar Jinu.
Meski begitu, horor internasional juga punya penggemar setia. Rachel, penggemar psychological horror, mengaku menyukai film seperti Hereditary (2018) dan Midsommar (2019) karena mengeksplorasi ketakutan eksistensial dan trauma keluarga, memberi penonton pengalaman edukatif tentang kondisi mental dan dinamika sosial.
Di sisi lain, horor lokal lebih menekankan kisah mistis dan makhluk supranatural. Walaupun berbeda pendekatan, keduanya tetap menyampaikan pesan moral dan sosial. Beberapa penonton, seperti Rizqita, lebih tertarik horor asing karena alur ceritanya tak mudah ditebak, sementara horor lokal kadang terasa repetitif.
Baik horor lokal maupun internasional selalu menghadirkan pengalaman unik. Film horor bukan hanya soal bikin takut, tapi juga mencerminkan budaya, memberi pelajaran psikologis, dan menyampaikan pesan sosial. Dengan pendekatan yang tepat, horor bisa menjadi media pembelajaran yang efektif, baik di kelas, komunitas, maupun untuk refleksi pribadi.