Bolehkah umat Islam mengucapkan Selamat Natal? Ini pandangan para ulama

waktu baca 5 menit

Jakarta (KABARIN) - Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani memperingati Hari Raya Natal melalui berbagai kegiatan, seperti ibadah, berbagi hadiah, dan saling menyampaikan ucapan selamat.

Di tengah perayaan tersebut, pertanyaan mengenai boleh atau tidaknya umat Islam mengucapkan selamat Natal kerap muncul, terutama karena dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit umat Islam yang memiliki kerabat, sahabat, atau rekan kerja yang berbeda keyakinan.

Pertanyaan ini sejati-nya wajar, mengingat Indonesia merupakan negara dengan keberagaman agama yang hidup berdampingan. Namun, pembahasan ini sering menimbulkan perdebatan karena dinilai bersinggungan dengan persoalan akidah.

Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut? Simak ulasannya berikut ini berdasarkan informasi yang telah dihimpun dari berbagai sumber.

Hukum orang Islam mengucapkan selamat Natal

Isu apakah orang Islam boleh mengucapkan selamat Natal, hampir selalu muncul setiap tahun dan kerap memicu perdebatan, khususnya di kalangan umat Islam di Indonesia.

Pada dasarnya, baik Al-Quran maupun hadis tidak memberikan penjelasan yang tegas dan kebenaran mengenai hukum mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk agama lain.

Oleh karena itu, persoalan ini kemudian menjadi wilayah ijtihad para ulama, terutama dalam konteks masyarakat yang hidup berdampingan antara umat Islam dan non-Muslim serta menjunjung tinggi nilai toleransi.

Secara garis besar, terdapat perbedaan pandangan dalam menyikapi hal tersebut, yang terbagi ke dalam pendapat yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Berikut penjelasan dari masing-masing pandangan tersebut.

Pandangan ulama yang memperbolehkan

Sebagian ulama, di antaranya Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sejumlah ulama lainnya, berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal kepada umat yang merayakannya diperbolehkan. Pandangan ini didasarkan pada sejumlah dalil Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.

Salah satu landasan yang digunakan adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8 berikut ini:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi-mu karena agama dan tidak pula mengusir-mu dari negeri-mu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Ayat tersebut dipahami sebagai penegasan bahwa umat Islam diperbolehkan berbuat baik dan bersikap adil kepada siapa pun selama mereka tidak memusuhi atau mengusir kaum Muslimin. Dalam konteks ini, mengucapkan selamat Natal dipandang sebagai salah satu bentuk kebaikan kepada non-Muslim yang hidup damai dan tidak memerangi umat Islam, sehingga dinilai boleh dilakukan.

Selain itu, pendapat ini juga merujuk pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik berikut:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ)

Artinya: Dahulu ada seorang anak Yahudi yang biasa melayani Nabi SAW. Suatu ketika ia sakit, lalu Nabi SAW datang menjenguk-nya. Beliau duduk di dekat kepalanya dan berkata, “Masuk Islam-lah.” Anak itu menoleh kepada ayahnya yang berada di sampingnya, lalu sang ayah berkata, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW).” Anak itu pun masuk Islam. Nabi kemudian keluar sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari No. 1356 dan 5657)

Menanggapi hadis tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu serta dianjurkannya menjenguk mereka ketika sakit (lihat: Fathul Bari, Juz 3, hlm. 586).

Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa Nabi SAW memberi teladan untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memusuhi umat Islam. Dalam kerangka pemahaman tersebut, mengucapkan selamat Natal dipandang sebagai bagian dari sikap baik dan hubungan sosial yang diperbolehkan.

Pandangan ulama yang tidak memperbolehkan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani, meskipun memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa ucapan Natal tidak sekadar bersifat sosial, melainkan berkaitan dengan aspek keyakinan.

Menurut kelompok ulama ini, menyampaikan ucapan selamat atas perayaan Natal tidak dapat disamakan dengan toleransi beragama yang dibenarkan dalam Islam. Ucapan tersebut dinilai berpotensi mengandung pengakuan terhadap ajaran teologis yang diyakini umat Kristiani.

Maksudnya, ketika seseorang mengucapkan selamat atas perayaan Natal, hal itu dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan umat Kristiani mengenai kelahiran Nabi Isa A.S. sebagai anak Tuhan.

Pandangan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan keesaan Allah SWT, bahwa Dia Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.

Dalam Islam, pemahaman tentang Nabi Isa A.S. sangat berbeda. Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa A.S. adalah seorang nabi dan rasul utusan Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan ajaran tauhid, bukan sebagai Tuhan atau anak Tuhan.

Selain itu, Islam juga tidak meyakini bahwa Nabi Isa A.S. dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Hal ini merujuk pada penjelasan Allah SWT dalam Q.S. Maryam ayat 22–25 berikut:

“Maka Maryam mengandung-nya, kemudian ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka, rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyeru-nya dari tempat yang rendah: ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawah-mu. Dan goyang-lah pangkal pohon kurma itu ke arah-mu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.’”

Berdasarkan ayat tersebut, para ulama menafsirkan bahwa kelahiran Nabi Isa A.S. terjadi pada masa pohon kurma berbuah matang, yakni pada musim panas, bukan musim dingin seperti bulan Desember.

Oleh karena itu, apabila umat Islam tetap mengucapkan selamat Natal, sebagian ulama menilai hal tersebut dapat termasuk dalam bentuk kesaksian yang tidak sesuai dengan keyakinan Islam. Memberikan kesaksian palsu sendiri dilarang dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Furqan ayat 72:

Jadi apakah boleh umat Muslim mengucapkan selamat Natal?

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait ucapan selamat Natal. Sebagian menyatakan tidak diperbolehkan, sementara sebagian lainnya membolehkan.

Dalam hal ini, umat Islam diberikan ruang untuk mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan keyakinan dan pemahaman keagamaannya. Perbedaan pandangan tersebut semestinya disikapi secara bijaksana dan tidak dijadikan sumber konflik atau perpecahan.

Sumber: ANTARA

Bagikan

Mungkin Kamu Suka